Orang yang jujur dan bersih dalam dunia politik atau birokrasi pemerintahan dianggap melawan arus, seperti itulah yang terkesan. Sebaliknya, dalam pandagan konservative kehidupan sosial kemasyarakatan, orang yang jujur dan bersih masih memiliki tempat dimata masyarakat.
Jokowi membangun citra yang bersih dan jujur sehingga memperoleh tempat dimata masyarakat. Sedangkan dalam dunia politik yang lebih bersikap liberal dihadapi oleh Jokowi dengan sikap prejudice.
Sikap prejudice itu terlihat pada gagasan revolusi mental yang tidak lain merupakan sebuah justifikasi keadaan mental bangsa yang kurang baik yang menyebabkan keterpurukan bangsa ini. Bahwa niat kebaikan Jokowi akan diganjal jika dia mengundurkan diri, DPRD tidak akan mengizinkan pengunduran diri sehingga gagal nyapres. Hal ini dipakai sebagai alasan hanya mengambil cuti.
Apakah benar Jokowi adalah orang jujur dan bersih ?.  Dapat dikatakan tidak. Sebab, orang jujur dan bersih tidak akan mampu bersaing dalam politik yang liberal. Dalam dunia politik yang liberal lebih mengedepankan ekonomi ketimbang moral. Moral akan terbentuk dengan sendirinya manakala rakyat sejahtera sebagai landasan tertib hukum. Sehingga disini, hukum menjadi alat pemaksa agar masyarakat tertib sebagai landasan pembentukan mental dan moral itu.
Apa yang dilakukan oleh Jokowi hanyalah strategi politik dalam pesaingan yang liberal, sikap prejudice telah membangun sikap pendukung yang militan. Sikap seperti inilah salah satu pendorong black campaign yang justru akan merugikan Jokowi sendiri.
Bagaimanapun, dalam pergaulan sosial kemasyarakatan, sopan santun masih dikedepankan, sikap militan yang kadang brutal dari pendukungnya justru akan menurunkan simpati. Seperti hasil survei lembaga riset Vox Populi Survey menunjukkan elektabilitas Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto mengalahkan elektabilitas Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi), yakni mencapai 33,1 persen. Dalam riset yang menggunakan hampir 4.000 responden secara nasional itu, elektabilitas Megawati mencapai 15,4 persen, sementara Jokowi mendapatkan 10,1 persen.
Prabowo Subianto, dalam temuan survey tersebut dianggap sebagai antitesa dari gaya kepemimpinan pemerintahan saat ini yang dianggap bertanggungjawab atas terbentuknya pemerintahan yang korup, penakut, tebar pesona, buang badan (memindahkan tanggung jawab dan kesalahan ke pihak lain), dan peragu.
Terlepas benar tidaknya hasil survey tersebut adalah sebuah pendapat yang timbul dari sikap prejudice yang dikembangkan oleh Jokowi. Namun demikian, kita harus mellihatnya dari sisi pencarian dukungan politik sehingga kita tidak terkecoh oleh pencitraan baik dan buruknya. Sebab, yang kita saksikan saat ini adalah sebuah kampanye politik yang saling menjatuhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H