Ketua Umum Barisan Muda Penegak Amanat Nasional (BM PAN), Yandri Susanto, mengungkapkan, calon presiden Joko Widodo sebagai sosok yang bertanggung jawab atas kasus dugaan korupsi pengadaan bus Transjakarta. BM PAN merupakan organisasi sayap Partai Amanat Nasional (PAN) yang ikut berkoalisi memenangkan pasangan Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014. Dia pun menilai, Jokowi sebagai orang yang menandatangani pengadaan dan anggaran proyek tersebut. Oleh karena itu, dia meminta aparat penegak hukum bertindak tegas siapapun yang terlibat dalam kasus ini, tak terkecuali Jokowi.
Sekalipun maju menjadi calon presiden PDI Perjuangan, gerakan Joko Widodo di DKI Jakarta relatif terbatas, karena terkendala banyaknya warga Jakarta yang kecewa bahkan menggelar aksi unjuk rasa. Gubernur DKI Jakarta yang tengah cuti itu, tak bisa banyak berbuat di DKI karena warga sudah kecewa dan galau dengan janji-janji Jokowi saat menjadi orang nomor satu di Jakarta.Tak hanya itu, elemen masyarakat yang menamakan Sentral Pemberdayaan Masyarakat (SPM) mengaku kecewa atas pencapresan Joko Widodo (Jokowi) oleh PDIP. Oleh karena itu, mereka melayangkan gugatan terhadap Jokowi lantaran dianggap mengabaikan amanah warga Jakarta sebagai Gubernur DKI.
Melihat situasi yang dihadapi Jokowi seperti diatas , jika ditengok pidato pencapresan Jokowi, Megawati mengingatkan Jokowi sebagai capres akan kemungkinan adanya pihak-pihak yang bermain di tikungan. "Mereka yang main di tikungan itu banyak sekali. Itu bukan budaya kita," kata Mega. Siapakah mereka ?.
Seorang politikus dengan latar belakang keilmuan yang tinggi, tentu paham dengan mekanisme organisasi. Tapi kadang dengan alasan demokrasi, cara yang salah pun akan ditempuh. Ini adalah penilian sebuah media, sebut saja media yang bukan partisan terhadap langkah kader muda golkar yang ngotot mendukung Jokowi-JK , padahal keputusan Rapimnas VI Partai Golkar yang dilaksanakan pada 18 Mei 2014, menghasilkan tiga poin. Pertama, menetapkan Aburizal Bakrie sebagai capres atau cawapres Partai Golkar di Pilpres 2014. Kedua, memberi mandat kepada ketua umum (Aburizal) untuk melakukan langkah politik dan penentuan mitra koalisi. Ketiga, menggugurkan keputusan rapimnas sebelumnya (2012).
Keputusan ini adalah keputusan tertinggi setelah musyawarah nasional atau munas. Keputusan rapimnas harus dilaksanakan oleh seluruh kader. Setelah ditetapkan, Aburizal memutuskan untuk berkoalisi dan mendukung duet Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai capres dan cawapres. Tetapi kita tahu, keputusan itu ditentang oleh beberapa kader muda Golkar, seperti Ketua Litbang DPP Golkar Indra J Piliang. Dia mengatakan, harusnya yang didukung adalah Jokowi-JK, dengan alasan JK adalah kader Golkar.
"Dukungan tidak dapat ditentukan oleh ketum untuk mendukung salah seorang calon," kata politikus muda Golkar Andi Sinulingga saat ditemui wartawan di kawasan SCBD Jakarta Selatan. Tapi bukankah keputusan organisasi sudah mengamanatkan ketua umum untuk memutuskan? Pernyataan Andi memang sedikit ganjil.Indra J Piliang juga mengaku tidak ada persoalan kalau nanti akan melepaskan jabatannya di DPP karena bertolak belakang dengan keputusan partai.
Kalau melihat latar belakang para politikus muda ini, mungkin kita tidak akan yakin bahwa mereka tidak paham organisasi. Mereka lahir dari organisasi, dan bahkan besar dari organisasi, dan paham organisasi seperti Partai Golkar. Karena itu, kenapa harus ada kata tidak sepakat dengan keputusan organisasi mendukung Prabowo-Hatta? Jawaban sinisnya karena ada dua sisi keuntungan yang bisa diraih baik dari kubu Jokowi maupun Prabowo.
Perpecahan di Golkar, kalau bisa dibilang seperti itu, sebenarnya bukanlah sesuatu yang biasa. Pemilu 2004 saat JK maju mendampingi SBY, sementara Golkar mengusung Wiranto-Sholahudin Wahid, juga mirip. Pemilu 2009 juga demikian. Walau JK berduet dengan Wiranto sebagai capres-cawapres dan kalah, toh Golkar tetap di lingkaran kekuasaan. Lalu apa sebenarnya yang menjadi persoalan?
Beberapa pihak menilai, dalam pilpres kali ini, walau Golkar tidak mengusung capres sendir, tapi sebagai the winner, tetaplah Golkar. Asumsinya sederhana. Siapapun yang menang maka Golkar tetap akan menancapkan kakinya pada kekuasaan. Peristiwanya lebih kurang mirip dengan tahun 2004 dan 2009, bedanya dalam pilpres 2014 golkar hanya memberikan dukungan, tidak mencalonkan kadernya.
Sepintas lalu, pendapat seperti diatas dalam artian berpegang pada etika politik memang dapat mengundang kesan terjadi perpecahan didalam tubuh Golkar. Namun sebaliknya, dapat juga diartikan sebagai "tricky" bagaimana tetap menjadi the winner. Kita lihat figur JK yang merupakan pakarnya melakukan tricky politik dalam posisinya sebagai cawapres. Paling tidak dia sudah menancapkan kukunya dalam peluang meraih kekuasaan. Hal ini sudah pasti diketahui oleh Megawati yang perlu mengingatkan Jokowi adanya pemain2 itu.
Kasus korupsi TransJakarta yang dikaitkan dengan Jokowi dapat dipakai untuk kepentingan pasangan Prabowi - Hatta seperti diatas, juga dapat dipakai untuk kepentingan JK. Politisasi kebijakan seperti yang dialamai oleh Boediono dan Sri Mulyani sangat mungkin terjadi pada Jokowi. Apalagi jika Jokowi sampai memenangi pilpres, peran JK menjadi penentu, penentu apakah kasus korupsi TransJakarta akan menjadikan Jokowi bernasib seperti Boediono dan Sri Mulyani.