Dengan kepadatan penduduk DKI  sebanyak 23.000 per kilometer perssegi, diluar Jakarta, equivalent jumlah penduduk 9 kilometer persegi di DKI lebih kurang sama dengan kota Batu di Jawa Timur, yang berpenduduk 214.000 jiwa atau  7 kilometer persegi equivalent jumlah Penduduk Kota Metro Lampung yang berpenduduk sekitar 160.000 jiwa.
Propinsi DKI merupakan pusat perekonomian Indonesia dengan pendapatan per kapita Rp. 174,8 juta atau kalau dikonversi kedalam US $ menjadi lebih kurang US $ 13.000, bandingkan dengan Singapura  sekitar US $ 15,000 atau bandingkan dengan Jawa Timur  sekitar US $ 3.000 atau rata2 nasional  US $ 3.300.
Dari data statistik tersebut, secara sederhana dapat terbaca bahwa pembangunan akan terpusat di Jakarta. Hal ini disebabkan pembangunan infrastruktur publik yang diterapkan berdasarkan kepadatan penduduk. Pendapatan perkapita Kalimantan Timur dan Riau yang berada pada urutan kedua dan ketiga, kemungkinan mendapat subsidy dari Kalimantan Timur dan Riau yang penduduknya relatif lebih jarang.Â
Konsekwensi dari penerapan pembangunan  system subsidy silang tersebut, daerah kaya kekayaan sumber alam  yang memberikan pendapatan tinggi seperti Kalimantan Timur atau Riau, pembangunan jauh tertinggal dari Propinsi di Jawa yang kepadatan penduduknya yang tinggi. Pembangunan infrastruktur publik akan berpengaruh pada kelancaran distribusi kebutuhan pokok masyarakat sehingga  harga kebutuhan pokok dan BBM di Jawa relatif lebih murah dibandingkan harga di kedua Propinsi diluar Jawa itu.
Bagaimana kalau data statistik tersebut ditutup ?
Pastinya hasilnya akan berbeda, kepala daerah di Jawa akan tercitra lebih berhasil dalam pembangunan dibanding kepala daerah di kedua propinsi luar jawa tersebut. Inilah yang menyebabkan banyak daerah yang tertinggal dalam pembangunan karena tingkat kepadatan penduduknya yang jarang terutama pada wilayah Indonesia bagian Timur dan Kalimantan. Seperti halnya propinsi Papua yang wilayahahnya merupakan penghasil tambang yang luar biasa besar deposit yang dikandungnya namun karena kepadatan penduduknya yang sedikit menyebabkan daerah itu sangat jauh tertinggal.
Dalam persaingan pilkada, terutama di DKI, data statistik tersebut tidak akan diungkap, yang diungkap adalah hasil pembangunan yang direalisasikan apalagi dalam era persaingan bebas saat ini yang membutuhkan biaya tidak sedikit, semakin besar alokasi pembangunan semakin keras persaingannya. Tak pelak lagi, wilayah DKI yang kepadatan penduduknya terpadat di Indonesia, pembangunan infrastruktur publik dan ekonomi akan mendapat porsi yang paling besar.
Sehingga, siapapun Gubernur DKI, pasti akan paling berprestasi dalam pembangunan karena porsi pembangunan di DKI menjadi paling besar di Indonesia dan pembangunan tersebut berdasarkan peraturan daerah yang harus dilaksanakan oleh Gubernur.Â
Mungkin bisa dikatakan bahwa politik boleh-boleh saja menggunakan filosofi umbul2, yang lurus ditanam dalam-dalam untuk menjadikan yang bengkok berkibar melambaikan  sederet prestasi karena dalam politik pada dasarnya mengangkat tema yang terlihat, data statistik semacam diatas banyak yang tidak faham untuk apa. Ketika kita buka data statistik tersebut, kita bisa mengerti bahwa dalam politik berbohong akan dilakukan kalau dipandang menguntungkan.Â
Adalah sebuah gambaran, pilkada DKI menjadi pilkada yang paling sengit dalam persaiangan antar kandidat karena DKI memiliki porsi terbesar dalam pembanguna yang dapat dijadikan baromeneter prestasi dalam persaingan politik yang lebih besar lagi.
Debat terbuka paslon gubernur DKI malam ini tak lepas seputar masalah sosoial ekonomi masyarakat yang lebih cenderung mengkritisi kebijakan paslon no urut 2 sebagai  paslon Patahana.  Berbicara masalah sosial ekonomi akan merujuk pada penduduk DKI yang padat, penduduk DKI yang hidup dalam lingkungan yang layak dan juga berbicara hak dan kewajiban masayarakat.