Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

Sudah loyo

Selanjutnya

Tutup

Politik

OTT KPK Hakim MK, Pelipur Lara Antasari Azhar ?

27 Januari 2017   01:32 Diperbarui: 27 Januari 2017   01:55 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus yang menjerat Antasari sebagai terpidana dan membuatnya harus menjalani vonis penjara 18 tahun pada 2009 silam selama ini diketahui publik akibat adanya cinta segitiga antara Antasari-Rani Juliani-Nasrudin. Namun, Antasari membantahnya. Antasari  mengaku bahwa Rani merupakan orang yang menerornya sewaktu dia menjadi Ketua KPK, hal itu kemudian diceritakan Antasari kepada Kapolri waktu itu, Bambang Hendarso Danuri (BHD). Namun Nazarudin dibunuh, Antasari dinyatakan oleh majelis hakim sebagai otak pembunuhan Nazaruddin.

Dari balik jeruji besi, tak henti Antasari melakukan upaya hukum namun semuanya kandas hingga akhirnya memperoleh pembebasan bersyarat setelah mendekam selama tujuh setengah tahun dan akhirnya memperoleh grasi dari Presiden Jokowi dengan pengurangan hukuman 5 tahun atau kini Antasari Azhar bebas murni.

Dibalik kisah yang dialami oleh mantan ketua KPK ini terselip sebuah kisah friksi antara KPK dan Polri yang populer dengan istilah cicak vs buaya dan yang terakhir terjadi saling mentersangkakan antara pimpinan polri dan KPK beberapa waktu silam.

Walaupun Antasari Azhar sudah mengiklaskan, mungkin itu hanya ucapan namun hati kecilnya tidak mungkin melupakan betapa sakitnya perlakuan yang diterimanya.  Setidak-tidak OTT KPK terhadap para hakim nakal sedikitnya dapat menjadi obat atas penderitaanya sekaligus menjadi gambaran sebuah peristiwa yang dialami oleh keputusan hakim dalam budaya yang bisa saja berkerja atas dasar kepentingan dan uang.

Bagi pimpinan KPK, mungkin pengalaman Antasari Azhar menjadi sebuah pelajaran berharga untuk tidak menangani "orang"  yang membawa citra orang kuat sehingga menuai sindiran, Polri berani mentersangkakan Ahok, bagaimana dengan KPK ?.  Karena tidak ingin terlibat masalah, BPK yang mengungkap indikasi kerugian negara atas pembelian  tanah RS Sumber Waras harus menjadi bulan2an publik yang merusak kredibilitas lembaga negara ini.

Seolah tak mengakui temuan BPK, KPK dinilai melindungi Ahok.  Namun, jika kita melihat Pekap kapolri yang  semasa Kapolri Badrolin Haiti yang memungkinkan penangan kasus yang melibatkan kontestan politik setelah usainya pilkada dengan alasan untuk menghindari politisasi, KPK  enggan menangani  indikasi kerugian negara yang diungkap BPK kemungkinan memiliki alasan yang sama dengan Polri.

Namun "jebolnya" Perkap tersebut oleh alasan tekanan massa yang meminta Ahok diproses atas dugaan penistaan agama, kini Polri memproses seluruh laporan yang melibatkan kontestan termasuk juga dalam perkara korupsi. Bisa diperkirakan akibatnya, situasi politik makin riuh, Polri dinilai terjebak dalam politik praktis. 

Ditengah kegaduhan saling lapor yang melibatkan para kontestan pilkada, KPK menangkap Pratrialis Akbar yang kini menjadi hakim MK setelah sebelumnya menjabat menteri Hukum dan Ham.  KPK memiliki kewenangan melakukan operasi intelejen tanpa harus  persetujuan pengadilan ini berhasil menjaring Patrialis Akbar beserta barang bukti berupa uang yang sangat mungkin didahului oleh operasi intelejen.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa KPK menyasar para hakim ?

Hakim adalah pemutus dalam perkara hukum dalam kasus pidana yang prosesnya berawal dari kepolisian seperti halnya dalam proses hukum yang dialami oleh Antasari Azhar. Agaknya KPK mencari aman  dengan menyasar target yang tidak berbau politik sehingga kasus korupsi yang melibatkan kontestan politik beralih ke Polri. 

Polripun menggunakan kasus Ahok sebagai  jurisprudensi untuk menangani seluruh aduan terkait dengan kontestan politik termasuk juga menyangkut kasus korupsi yang mestinya menjadi keweanagan KPK walaupun Polri sesuai aturan yang berlaku juga memiliki kewenangan.

Dan memang fakta yang terjadi, keputusan Polri meningkatkan status laporan menjadi penyidikan terhadap kasus dugaan  korupsi yang melibatkan kontestan pilkada langsung menjadi komodidatas politik baik dalam dunia medsos maupun media pemberitaan seolah oleh sebagai show of force kekuasaan. 

Namun dibalik itu, Antasari Azhar yang baru saja mendapat grasi dari Jokowi dapat tersenyum lega, setidak-tidaknya indikasi yang diungkapnya memperoleh dukungan yang sangat berharga, dia divonis harus menderita oleh hakim dalam budaya bisa diatur dengan uang dan KPK yang merupakan lembaga yang  pernah dipimpinya mengukuhkan apa yang ingin diungkap oleh Antasari Azhar selama ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun