Beberapa waktu yang lalu Jokowi menolak melakukan debat dengan capres lainnya alasannya hanya untuk saling mencemoohkan. Agaknya, soal debat ini Jokowi salah persepsi, debat capres yang dimaksud adalah sebuah presentasi dari misi dan visi capres sehingga rakyat pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan programnya bukan semata-mata figurnya.
Debat terbuka semacam ini memang dapat mempengaruhi pemilih. Jangankan memilih presiden, apalagi debat tersebut disaksikan oleh pemilih melalui tayangan televisi, perangkat audio visual ini dapat menggeser pandangan manusia terhadap Tuhannya. Kita lihat saja diseluruh rumah tangga di Indonesia, orang lebih banyak menghabiskan waktunya didepan televisi ketimbang berdoa. Artinya, televisi dapat merubah sikap masyarakat yang relegius menjadi masyarakat yang sekular .Contohnya, hiburan menjadi sebuah kebutuhan masyarakat sehingga mendorong tumbuhnya tempat-tempat hiburan mulai dari yang hanya sekedar tempat bersantai sampai tempat yang dilarang agama.
Kembali kepada debat pilpres, Jokowi menurut hasil survey adalah yang terpolpuler. Debat capres seperti telah dimulai pada tahun 1960 seiring dengan lahirnya tehnologi pertelevian dengan jangkauan yang luas sesuai kemajuan tehnologi satelit. Saya dapat menyamakan popularisa Jokowi dengan Richard Nixonn yang jauh lebih unggul dari saingannya Jhon F. Kennedy. Namun debat televisi antara keduanya dapat membalik keadaan yang kita tahu pada akhirnya JF Kennedy pada tahun 1962 terpilih menjadi presiden Amerika Serikat.
Fenomena Jokowi dapat dikatakan tak berbeda dengan fenomena yang terjadi di Amerika Serikat, pemilih dapat berubah pikiran setelah menyaksikan debat yang ditayangkan oleh televisi. Alangkah eloknya jika capres baik Prabowo maupun Jokowi mengikuti cara-cara yang demokratis bukan saling mencurigai satu sama lain. Sikap kecurigaan Jokowi yang menilai debat capres merupakan ajang cacimaki adalah sikap yang berlebihan. Jika kita mengikuti pemberitaan media, sikap Prabowo diniilai lebih elegan ketimbang Jokowi. Namun apakah ini hanya stretegi pearang urat syaraf layaknya dua orang petinju yang akan berlaga, bisa jadi demikiann atau sebaliknya.
Pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa bakal menguasai Jakarta dalam pertarungan di arena pilpres 9 Juli mendatang. Berdasarkan hasil survei yang dirilis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Prabowo-Hatta ungguli Jokowi-Jusuf Kalla (JK) di Ibu Kota. Peneliti LSI Rully Akbar mengatakan, meski Jokowi sudah dua tahun memimpin DKI, Prabowo-Hatta berhasil menguasai wilayah DKI. Katakanlah rilis ini diapakai sebagai parameter, kalau kandang sendiri tidak dikuasai maka akan sulit menguasai kandang yang lain.
Tak dikuasainya DKI oleh Jokowi adalah bukti masyarakat menilai Jokowi sebagai seorang pengecut yang tidak memegang janjinya. Terlebih penolakan terhadap debat capres dengan alasan hanya sebagai ajang cacimaki semakin menunjukkan gaya seorang pecundang yang hanya mampu menyalahkan pihak lain. Seorang kstaria tidak ada rumus menyalahkan orang lain karena yang ada didadanya adalah tanggug jawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H