Saya percaya semua agama mengajarkan agar kita berbakti kepada orang tua dan hormat kepada sesama makluk. Salah satu sikap bakti anak-anak kepada orang tua dan perbuatan baik yang dapat kita lakukan bagi sesama makluk adalah ziarah kubur, berdoa bagi sanak saudara yang sudah meninggal. Dan saya salut untuk team Kompasiana yang sudah merancang kegiatan Kompasiana Blogtrip: Eksplorasi Pesona Eco-Resort di Pulau Bintan pada tanggal 31 Oktober - 1 November 2015 memilih destinasi pertamanya ziarah kubur di makam Raja Hamidah (Engku Puteri) Permaisuri Sutan Mahmud Sah III, Riau, Lingga (1760-1812) dan raja-raja lain di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Ziarah Makam ini mengingatkan saya akan satu ajaran iman tentang Indulgensi, penghapusan siksa dosa bagi orang yang sudah meninggal dengan cara mengunjungi makam dan /atau mendoakan arwah orang yang sudah meninggal dari besok tanggal (1/11) sampai dengan Minggu (8/11). Dengan ziarah kubur dan/atau berdoa bagi yang sudah meninggal, para arwah yang kita doakan akan memperoleh penghapusan siksa dosa baik penuh maupun sebagian. Akan memperoleh indulgensi penuh jika menjalankan ziarah dan/atau doa untuk arwah yang sudah meninggal setiap hari dari tanggal 1 s/d 8 November; akan memperoleh indulgensi sebagian yang menjalankan pada hari-hari lain.
Perjalanan ziarah makam ini kami mulai setelah makan siang di Rumah Makan Sederhana Tanjungpinang yang letaknya berdekatan dengan Taman Gurindam 12.
Â
Â
Dari Tempat kami makan, cukup melanjutkan dengan naik bus kira-kira 5 menit. Kami turun dan berjalan menuju pelabuhan pancung. Di sisi jalan sebelum tiba di pelantar, kami melihat lukisan dinding yang menarik. Konon lukisan ini sudah sangat lama dan diperbaharui dengan media yang tahan lama.Â
Menarik perhatian. Sebelum akhirnya tiba di pelabuhan pancung kamiharus melalui lorong panjang. Di sisi kanan lorong itu dimanfaatkan untukparkir kendaraan roda dua, dan tersusun rapi di tepi. Kemanakah para pemilik? Mungkinkan penduduk penyengat menyipan motor-motornya di Tanjungpinang? Eh, ternyata motor-motor ini milik para sopir pancung yang sedang nambang di penyeberangan Tanjungpinang - Pulau Penyengat.
Untuk sampai di Pulau Penyengat dari Tanjungpinang, kami harus naik pancung yang kira-kira 15 menit lamanya. Tranportasi laut yang khas bagi daerah kepulauan ini banyak tersedia. Kita bisa menyewanya dengan tarif antara Rp. 200.000 - Rp. 500.000/kapal untuk pulang pergi. Pelan dan asik sembari menikmati pemandangan rumah-rumah warga yang dibangun diatas air di bibir pantai.
Setibanya di seberang, untuk kami telah tersedia BeMo (Becak Motor). Kami dengan becak motor ini menuju Komplek Makam berarak sperti pawai/kirab pengantin. Sembari menikmati asrinya rumah penduduk yang dibangun tidak saling gandeng layaknya perumahan Nasional, pak Ojek bercerita sedikit tentang kisah si raja yang di semayamkan di komplek makan. Kami pun menjumpai papan nama yang berisi Riwayat Pulau Penyengat.
Dan rasanya baru beberapamenit saja, kamisudah tiba di Komplek makam. Menarik untuk di perhatikan. Makamnya tersusun rapi dengan masing-masing satu tiang untuk satu orang yang dimakamkan sebagai tanda. Di tiap-tiap tiang batu yang ukurannya dibuat sesuai dengan umur orang yang meninggal, ditutup dengan kain warna kuning yang bertumpuk dan terikat. Warna kuning untuk menandakan bahwa yang dimakamkan disini adalah golongan atau keturunan raja (berdarah biru). Sementara untuk yang bukan golongan atau keturunan raja atau orang biasa, kain penutup batunya berwarna putih dan dimakamkan di tempat yang terpisah. Di dalam rumah makam ini tertulis dengan baik Gurindam 12.Â
Â
Lihat Travel Story Selengkapnya