Mohon tunggu...
Joko Kristiono
Joko Kristiono Mohon Tunggu... Konsultan - Berkah Dalem

Putra Bangsa Kelahiran Semarang. Mencintai keheningan, berusaha terus menerus cinta damai terhadap setiap makluk.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memberi Kesaksian tentang Kebenaran, untuk itu Aku diLahirkan.

22 November 2015   11:12 Diperbarui: 22 November 2015   11:12 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menarik jika kita menyimak dan memperhatikan situasi politik dan sosial nasional akhir-akhir ini. Belum lama, pelaku penipuan dengan modus “mama minta pulsa” diringkus oleh pihak berwajib. Modus yang sudah menyabet ribuan bahkan jutaan rupiah uang orang kalut karena situasi yang diciptakan oleh para pelaku diganti modus “papa minta jatah”. Modus baru, pencatutan nama pejabat negara, Presiden dan Wakin Presiden Republik Indonesia ini menarik perhatian para analisis politik, para analis sosial masyarakat bahkan saya masyarakat kecil, lemah dan miskin. Modus penipuan mencatut nama orang terpandang tersebut berujung pada uang alias kekayaan.

Orang kebanyakan berpikir bahwa dengan memiliki banya uang, ia akan bisa membeli apa saja yang ia butuhkan juga yang ia inginkan kendati tidak ia gunakan, termasuk pelaku modus “papa minta jatah”. Dengan uang ia bisa menjadi penguasa, raja bagi orang lain yang siap melayani. Uang diincar dan bahkan menjadi tujuan kendati harus menggunakan cara-cara yang menurut hikmat kebijaksanaan adalah cara yang kotor, busuk.

Harta dekat dengan kekuasaan. Ketika orang memiliki harta yang banyak, cenderung mudah untuk mencapai dan memiliki kekuasaan yang lebih dibandingkan mereka yang tidak berharta. Oleh sebab itu untuk mempertahankan kekuasaan, menumpuk harta sudah pasti dilakukan oleh mereka yang sudah berkuasa, apapun caranya, sekali lagi termasuk pelaku modus “papa minta jatah”.

Menurut Kompasianer, Sutan Banuara, dalam tulisannya Besi menajamkan Besi, Manusia menajamkan Manusia, pemimpin itu bukan dilahirkan tetapi dibentuk yang ia paparkan dengan perumpamaan. Saya setuju dengan pemikiran ini. Saya menambahkan saja pada gagasan tersebut bahwa kita semua dilahirkan ke dunia ini untuk menjadi pemimpin dalam memberi kesaksian tentang kebenaran.

Seharusnya kita bersaksi dan mengatakan yang benar, tentang yang benar dan dengan benar, bukan tipu-tipu. Yang benar itu keluar dari hati. Yang tidak berasal dari sana, cenderung banyak salahnya daripada benarnya. Hati menjadi salah satu ukuran bahwa kita telah bertindak dan berkata dengan benar dan tentang kebenaran.

Hari ini, Minggu (22/11/15) saya mendengar warta bahwa ketika Yesus dihadapkan ke pengadilan, Pilatus bertanya kepada-Nya, “Engkaukah raja orang Yahudi? Jawab Yesus, “Dari hatimu sendirikah engkau katakan hal itu? Atau adakah orang lain yang mengatakan kepadamu tentang Aku?” Saya yakin dan merasa, Yohanes penulis kisah ini menulis demikian bukan hanya sekedar laporan kejadian. Tetapi lebih dari itu si penulis hendak mau mengatakan kepada pembaca bahwa hati itu sumber kekenaran.

Mari kita berlomba-lomba menjadi yang terdepan, menjadi pemimpin, dalam memberikan kesaksian tentang kebenaran. Jangan tiru pemimpin yang sudah memberi contoh perilaku tipu-tipu. Teladanilah perilaku pemimpin yang mau merakyat, berkata tentang kebenaran dan benar dalam berbicara. Selamat Anda menjadi raja kebenaran. ~*~

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun