Ilustrasi - masyarakat Jepang sedang antre (Kompas.com)
Saya terkadang pusing memahami beberapa cara orang Jepang berkomunikasi. Terasa sangat tidak jelas dalam beberapa keadaan. Nyaris susah untuk mengetahui dengan persis, sikap dan pendapat mereka terhadap sesuatu. Apakah mereka sepakat, tidak sepakat, menolak atau menerima. Berbeda sekali dengan pengalaman saya berinteraksi dengan beberapa orang Amerika dan Eropa saat masih melakukan penelitian malaria di Sumba. Mereka lebih suka kita bicara terbuka, tegas dan to the point terhadap sesuatu. Saya pernah punya pengalaman dihardik oleh mereka karena mutar-mutar saat berpendapat dalam sebuah pertemuan. Disini model komunikasi serupa itu rasanya akan sangat susah ditemui.
Supervisor saya disini mengatakan seperti ini suatu ketika, jika kamu bertanya pada orang Jepang tentang keahliannya, jangan percaya kalau mereka bilang tidak tahu apa-apa. Orang Jepang cenderung tidak ingin tampil lebih superior di depan lawan bicaranya, bahkan ketika mereka sangat pandai atau sangat ahli sekalipun. Jika ada yang habis ujian, terus kita nanya, gimana ujiannya tadi. Biasanya mereka akan menjawab, “Maa-maa”. Saya tidak tahu persis apa artinya dalam bahasa Indonesia, tapi mereka hendak mengatakan, tidak terlalu baik namun juga tidak terlalu buruk, walaupun mereka mengerjakannya dengan sangat baik.
Dalam buku, “The Japanese Mind” yang ditulis sangat bagus oleh Rogers J. Davies dan Osamu Ikeno, akhirnya saya menemukan jawaban dalam sebuah konsep yang disebut “Aimai”. Sederhananya sebuah konsep dimana orang Jepang begitu suka dengan ambiguitas. Orang Jepang sangat mengedepankan harmoni sehingga mereka cenderung menahan diri untuk tidak menyatakan pendapatnya secara terbuka, walaupun mereka begitu tidak sepakat dengan sesuatu. Daripada menimbulkan konflik maka mereka cenderung memilih untuk diam. Diam dianggap sebuah bentuk kedalaman berpikir. Kalaupun mereka akhirnya bicara bahwa mereka tidak sepakat, mereka cenderung akan menerima pendapat lawan bicaranya terlebih dahulu lalu di ujung-ujung baru bicara tentang hal yang mereka tidak sepakati, tetap dengan bahasa yang tidak tegas dan mengambang
Demikian pula dengan ajakan, nyaris kita tidak pernah mendengar kata tidak. Coba saja mengajak mereka untuk melakukan sesuatu, ngopi atau nonton misalnya. Jika mereka tidak bisa menerima ajakan kita, maka mereka akan mengatakan, “Itsuka wa chotto….”. “Baiklah, tapi saya ada sedikit masalah”. Itu pertanda mereka sebenarnya tidak bisa. Coba kita di Indonesia langsung mengatakan, “Maaf, saya tidak bisa”. Menolak tawaran dengan tegas dianggap tidak patut. Bahkan saat kita diajak makan, lalu ditanya, bagaimana makanannya? Pasti kita akan mendengar mereka mengatakan, “Oishiii”, enak, walaupun sebenarnya belum tentu enak ya. Hal ini dijelaskan oleh satu kalimat dalam buku diatas.
The Japanese are usually uncomfortable expressing disagreement openly, because it is felt that one’s opinion cannot be separated from one’s personality and if you reject another’s opinion, you are necessarily reject the other person as whole.
Menyatakan pendapat secara terbuka dianggap tidak sopan. Itulah mengapa orang Jepang tidak pernah berbicara dengan tujuan membanggakan diri. Orang tua Jepang pun tak akan pernah kita dengar bercerita tentang anaknya kepada orang lain. Padahal biasa saja kan kalau di Indonesia kita terkadang suka bercerita tentang anak kita, membanggakan mereka dengan kelucuan dan prestasi-prestasinya. Nah disini hal itu ternyata dianggap malah tidak pantas.
Saat bicara dengan orang lain, kita harus menganggap lawan bicara kita tidak tahu apa-apa, sehingga kita tidak boleh bicara dengan kesan menggurui. Dan berangkat dari kutipan diatas, saya akhirnya paham mengapa kawan-kawan Jepang cenderung sangat hati-hati saat mereka bicara. Opini kita dianggap bagian personal kita. Sangat tidak boleh salah bicara. Daripada salah, mending diam. Makanya di tempat kerja, di kampus orang-orang bekerja seperti dalam keheningan.
Ada lagi bagian menarik dari buku diatas yang perlu diperhatikan untuk orang-orang baru di Jepang.
In Japan, even if you do not express your feelings clearly, others can tell how you feel from your attitude. Besides, the Japanese tend to conceal their real feelings, especially if they are negative and can hurt others. In addition, if you have troubles with other in Japan, it is almost impossible to reestablish the relationship
Seram juga ya. Hehehe. Namun menarik untuk dimengerti agar tidak keliru berinteraksi dengan mereka. Tentu saja kadang menjengkelkan bagi kita yang butuh penjelasan dan keterangan yang sejelas-jelasnya. Kadang saya berpikir sendiri, maksudnya apa ya? Saya punya pengalaman saat minta ijin untuk pulang lebaran kemarin. Sensei saya tidak mengatakan tidak bisa atau melarang, tapi mengatakan akan ada mahasiswa S1 stase di lab kita nanti, saya butuh bantuanmu membimbing mereka. Oh berarti tidak diijinkan ternyata ya. Membaca bagian dari buku diatas, jadi agak ngeri juga, coba kalau saya ngotot pengen pulang, tidak dilarang tapi bisa rusak hubungan baik saya dengan beliau. Dan ternyata dalam kultur Jepang sangat sukar dipulihkan kembali.