Di kota yang saya tempati kini, Kanazawa, Jepang ada sebuah tanjakan yang cukup terjal. Tanjakan Asahimachi. Tanjakan itu adalah jalan pintas menuju kampus Takaramachi tempat laboratorium saya berada yang letaknya diatas bukit. Salah satu tempat yang indah menurut saya. Tanjakan itu tak panjang, mungkin sekitar 600 meteranlah, dengan kemiringan sekitar 45 atau 50 derajat. Di kiri kanannya pohon bambu yang hijau dan lebat, lalu di pinggir jalan yang didesain seperti undakan ada pakis-pakis kecil yang kini sudah mulai menampakkan tunasnya. Dan di sisi jalan yang lain ada semacam altar kecil dengan patung budha yang setiap saat saya lewat, selalu ada bunga segar diletakkan di depannya. Mungkin untuk pemujaan. Agak sedikit mistik rasanya lewat disana tengah malam.
Tanjakan ini jadi semacam momok bagi saya, ujian untuk betis dan paru-paru saat harus menuntun sepeda melaluinya. Terkadang butuh dua kali istirahat untuk “menikmati keindahan” pepohonan bambu, sambil mengatur nafas yang tersengal-sengal sebelum akhirnya menyelesaikan perjalanan mendaki itu. (Perut memang tidak bisa dibohongi, apalagi kalau sudah rata. Rata dengan dagu. Hehehe). Dan perjalanan itu tambah berat lagi jika di keranjang sepeda penuh belanjaan daging dan ayam yang setiap jumat dibeli di mesjid. Satu-satunya tempat yang menyediakan daging halal yang tak perlu diragukan lagi di kota ini.
Hingga pada suatu hari, saaat hendak melalui tanjakan itu lagi dan bersamaan dengan rombongan anak Playgroup yang ditemani tiga gurunya. Playgroup, saya lupa bahasa jepangnya. Anak-anak itu kompak mengucapkan selamat pagi, saya pun membalasnya. Ihhh, anak-anak ini sopan sekali. Dan yang membuat saya tercengang, anak-anak yang mungkin berumur kisaran tiga tahunan itu disuruh jalan dan lari dari bawah tanjakan sambil disemangati gurunya. Mereka pun berhamburan, seperti anak domba yang yang dibukakan pintu ke padang rumput. Hihihihi.
Di tengah tanjakan beberapa anak sepertinya tidak kuat. Berhenti, ada yang terduduk, menangis, mendekati gurunya seperti minta digendong. Tapi gurunya cuma membujuk mereka untuk berhenti menangis, lalu mengajak si bocah itu jalan lagi. Memberi semangat supaya dia terus mengejar temannya yang sudah terlebih dahulu lari di depan. Si kanak-kanak yang tadinya sudah seperti tidak kuat itu lalu jalan lagi ada yang lari lagi mengejar temannya dan gurunya terus berteriak memberi semangat. Si anak pun akhirnya berhasil sampai di puncak, bergabung di ujung tanjakan denan teman-temannya yang lain.
Kagum melihat kelakuan kanak-kanak itu.Tadinya saya berpikir kasihan sekali anak-anak sekecil itu diajak mendaki tanjakan seterjal ini. Terus yang ndak kuat sampai menangis itu, kok gurunya tidak gendong ya, malah disuruh jalan lagi. Ahahaha, melihat kejadian itu. Saya yang tadinya berniat istirahat karena rasanya nafas sudah satu dua jadi malu dan menguatkan diri tidak berhenti sampai di ujung jalan. Anak playgroup saja bisa, masak saya tidak.
Betapa luar biasa didikan ala jepang ini mengajarkan kemandirian dan sikap pantang menyerah sejak usia yang begitu belia. Di play grup mereka, kata teman saya dan kebetulan saya pernah menontonnya di sebuah acara TV, pada saat sesi olahraga atau bermain, anak-anak itu sendiri yang mengambil dan menyiapkan peralatan yang hendak mereka pakai. Dan setelah itu mereka pun sendiri yang mengembalikannya ke tempat semula, keren kan.
Saya jadi paham sekarang perkataan sensei saya pada suatu ketika. Di jepang, setiap orang harus mengerti perannya dalam sebuah komunitas. Melakukan peran itu dengan sadar dan penuh tanggung jawab tanpa perlu disuruh. Anak kecil pun disini, tahu apa yang harus mereka lakukan tanpa harus terus diperintah atau diancam dengan hukuman.
Di Indonesia, jangankan anak-anak ya. Kita saja orang dewasa kadang begitu manja. Bisa bikin kopi sendiri tapi “Bu, bikinin kopi!”. Ini mungkin saya yang kadang membuat istri saya jengkel. Hehehehe. Ini baru hal-hal kecil, belum bagian-bagian yang besar ya. Banyak hal yang bisa dikerjakan sendiri namun selalu tergantung pada orang lain. Dan sikap pantang menyerah, ini pelajaran terbaik yang saya dapatkan dari kanak-kanak playgroup itu. Mereka tidak mudah mengeluh dan menyerah padahal mereka cuma kanan-kanak. Dan saya kira kharakter itulah yang kemudian terbawa hingga mereka besar nanti.
Bersekolah di tempat seperti Jepang ini dan juga di tempat lain pikir saya rasanya membutuhkan semangat ala anak-anak itu. Stress, frustrasi setiap saat bisa mengintai saat apa yang kita kerjakan gagal. Atau mungkin kita tak paham-paham juga sebuah metode. Tak perduli waktu, tenaga dan pikiran telah tercurah begitu besar untuk itu. Belum lagi ekpektasi dari sensei tentang kesempurnaan sangatlah tinggi. Belajar dari kanak-kanak itu, mereka mungkin bisa tidak kuat mendaki tanjakan, menangis. Tapi mereka tidak berhenti untuk berjalan walau harus tertatih-tatih. Kita boleh berhenti sejenak, tapi tidak boleh menyerah. Sekali menyerah, boleh jadi itu akan jadi kebiasaan saat menemukan sedikit masalah dalam hidup. Ah semoga semangat mereka bisa menular. Terima kasih adik-adik kecil.