Di Jepang pernah ada sebuah berita yang agak aneh dimana pemerintah mendorong para pegawainya untuk mengambil cuti tahunan. Pengalaman-pengalaman sebelumnya, hanya sedikit dari mereka yang mau rehat sejenak, mengambil cuti, berlibur entah kemana. Wah enak benar ya, coba di Indonesia seperti ini. Kalau kita malah sebaliknya, setiap tahun pemerintah pasti melakukan sidak dan mengancam memberi hukuman bagi pegawai yang menambah hari libur. Ini terutama saat libur bersama, entah idul fitri, mungkin juga natal atau tahun baru.
Mengapa ya orang Jepang segitu sukanya bekerja? Menarik pembahasan tentang konsep "Gambari" dalam buku "The Japanese Mind" yang ditulis Roger J Davies dan Osamu Ikeno. Di Jepang, bekerja adalah dedikasi hidup. Selain itu adalah nomor dua bahkan keluarga sekalipun. Tentang ini, saya cukup kaget saat suatu ketika berbincang dengan seorang professor yang bercerita bahwa saking sibuknya, dia tidak punya waktu banyak untuk keluarganya. Tidak pernah merayakan ulang tahunnya, ulang tahun istrinya, ulang tahun anaknya, bahkan tidak pernah hadir di acara wisuda mereka.
Laki-laki Jepang saat memilih bekerja, maka itu adalah semacam panggilan hidupnya dan harus total untuk itu. Sehingga banyak kasus dimana saat mereka pensiun, mereka tidak tahu harus berbuat apa. Pensiun terkadang begitu menakutkan. Bayangkan seorang suami yang pergi pagi, pulang larut malam. Sampai di rumah capek, tak ada waktu bercengkrama dengan keluarga. Tak sempat melihat anak-anaknya tumbuh karena semua waktu dan perhatiannya terserap oleh pekerjaan. Saat tua dan harus berhenti bekerja, bingung hendak berbuat apa termasuk bingung bagaimana berkomunikasi dengan keluarganya. Istrinya pun bingung saat melihat suaminya di rumah seharian, dulu tidak pernah dan dia tidak terbiasa dengan itu. Pada level yang sangat ekstrim, katanya banyak yang sampai memutuskan bunuh diri karena tidak tahan dengan hal ini.
Nah di Jepang jam kerja yang super panjang adalah adalah hal biasa. Bahkan dikatakan salah satu indikasi bahwa seseorang cakap jika mau mengambilnya. Mereka yang tidak mau mengambil waktu lembur bisa dicap malas dan kemungkinan tidak akan dipromosikan. Dan dalam struktur masyarakat yang homogen dan hidup dalam ikatan kelompok yang begitu kuat, tidak lucu kan kalau ada satu orang yang pulang cepat padahal temannya yang lain masih tinggal bekerja sampai larut malam. Itu belum dihitung habis kerja biasanya mereka kumpul-kumpul dulu minum dengan para koleganya sebelum pulang ke rumah. Mereka yang berbeda sendiri cenderung akan dikeluarkan dari dalam kelompok dan ini seperti hukuman sangat berat bagi orang Jepang.
Secara umum, orang Jepang menganggap waktu luang adalah tidak berguna, memalukan bahkan mereka merasa tidak nyaman saat tidak melakukan apa-apa. Mereka pokoknya harus selalu mengerjakan sesuatu dan itu harus serius dilakukan. Ini tentu saja berbeda dengan orang Amerika misalnya yang menganggap "free time" adalah penting. Lihat saja perbandingan beberapa ungkapan yang berbeda. Di Jepang kayaknya tidak da ungkapan "Take it easy!" atau "Dont work too hard". Disini adanya, "Gambatte", bekerjalah lebih keras lagi. Kalau kita di Indonesia. Hmmmm, kita kebanyakan waktu luang kayaknya. Jam kerja pun kita masih bisa baca koran atau bahkan nongkrong malah di warung kopi.
Walaupun dikatakan bahwa karakter gila kerja adalah salah satu faktor yang membuat Jepang bisa semaju sekarang, namun ternyata ada juga sisi negatifnya. Angka kematian karena beban dan waktu kerja berlebihan (Karoshi) meningkat dengan tajam. Penyebabnya kalau bukan stroke ya serangan jantung. Walaupun yang dilansir jumlahnya cuma ratusan setiap tahunnya, tahun 1991 saja dilaporkan sudah ada kasus sekitar 500 orang meninggal, tapi dipercaya bahwa angkanya jauh lebih besar dari itu karena biasanya perusahaan akan menutup-nutupi kasus kematian pegawai atau karyawannya karena kelebihan kerja ini.
Tapi nampaknya sudah ada pergeseran juga ya di kalangan generasi mudanya. Semakin banyak yang ingin menikmati waktu luang yang mereka punya dan ini dikeluhkan oleh generasi tua mereka sebagai karakter yang tidak tangguh. Time changes, people changes. Dari perbincangan beberapa kawan yang sama-sama sekolah di sini, beberapa kolega Jepang mereka sedari sekarang sudah mengincar pekerjaan-pekerjaan terutama di luar negeri dimana lebih mudah mengambil libur.
Akhirnya mungkin sebagai orang luar yang melihat fenomena ini, kita bisa belajar banyak dari keseriusan, dedikasi dan kerja keras mereka. Tapi kalau saya disuruh memilih, nampaknya kesetimbangan antara pekerjaan dan keluarga tetap penting dijaga. Pertanyaan sederhananya, lalu kita kerja mati-matian selama ini untuk siapa coba? Namun tentu saja ini berpulang dari sudut pandang budaya yang kita punya dan gunakan untuk melihat realitas hidup. Pokoknya gambatte!
(Kanazawa 291115)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H