Mohon tunggu...
Joko Hendarto
Joko Hendarto Mohon Tunggu... Dokter -

Orang Indonesia yang belajar lagi ke negeri orang...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Lindungi Anak Anda dari Bahaya Vaksin?

9 Juli 2015   15:41 Diperbarui: 9 Juli 2015   16:04 4458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penjelasan sederhana dari konsep di atas bisa diterangkan dengan kasus vaksinasi pertusis. Mereka yang belum pernah terpapar dengan kuman pertusis, maka sistem imunnya tidak akan punya sel memori terhadap kuman pertusis, dan selanjutnya tidak akan punya kekebalan adaptif terhadap infeksi penyakit itu sehingga mereka sangat rentan terinfeksi. Seorang kawan dokter anak pernah bercerita bahwa di tempat tugasnya di salah satu pulau terpencil, dia banyak sekali menemukan pasien bronkopneumonia. Dan setelah dilacak riwayat vaksinasinya, dia menemukan bahwa cakupan imunisasi pertusis di wilayah itu sangat rendah, demikian pula imunisasi lainnya. Seorang anak yang telah mendapatkan imunisasi pertusis boleh jadi akan tetap bisa terinfeksi kuman pertusis namun pada level yang lebih ringan karena dia sudah punya sistem kekebalan dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah mendapatkan vaksinasi itu. Sistem imunnya baru akan membentuk kekebalan padahal jumlah dan virulensi kuman sudah sangat besar, keadaan ini biasanya berakhir dengan komplikasi yang sangat serius seperti bronkopneumonia di atas, bisa sangat berat dan pada banyak kasus berakhir dengan kematian.

Keamanan Vaksin

Aman tidak vaksin itu? Isu ini menjadi isu kedua yang sering dikemukakan oleh penentang vaksin. Pertanyaan ini mengemuka utamanya saat Andrew Wakefield, peneliti Inggris, menerbitkan paper di Lancet pada 28 Februari 1998 yang menjelaskan bahwa terdapat perubahan perilaku dari 12 anak dengan vaksin MMR (Mumps, Measles dan Rubella) yang mengarah ke Autisme Syndrome Disorder (ADS). Wakefield tidak menyatakan secara langsung bahwa vaksin MMR adalah penyebab Autisme pada anak-anak itu, tapi publikasi itu sontak memberikan efek buruk pada cakupan vaksinasi. Angka vaksinasi jatuh terutama di Inggris dan Amerika. Dan setelahnya dilaporkan bahwa angka kejadian penyakit Measless, Rubella dan Campak pun meningkat denga tajam tajam. (Detail informasinya bisa dibaca salah satunya di: Jansen, V. A.; Stollenwerk, N.; Jensen, H. J.; Ramsay, M. E.; Edmunds, W. J.; Rhodes, C. J. Measles outbreaks in a population with declining vaccine uptake. Science, 2003, 301(5634), 804.)

Hasil publikasi dari banyak peneliti lain yang melakukan investigasi atas isu ini menemukan bahwa sama sekali tidak ada hubungan antara vaksinasi dengan autisme. Termasuk salah satu komponen yang ditambahkan dalam vaksin MMR, “Thimerosal” yang dicurigai sebagai komponen utama yang berperan sebagai penyebab autisme seperti dalam paper Wakefield di atas. Thimerosal ini adalah semacam substansi untuk mempreservasi vaksin agar tidak terkontaminasi bakteri atau jamur. Komponen ini telah dibuktikan sangat aman dan tidak mempunyai efek merugikan bagi kesehatan karena dosisnya yang sangat rendah. Informasi dalam paper Wakefield tidak benar, bahkan paper-nya ditarik dari jurnal Lancet pada Februari 2010. (Informasi tentang hubungan vaksin MMR, thimerosal dan autisme bisa dilacak dari beberapa hasil penelitian dalam sumber bacaan di bawah catatan lepas ini).

Sayangnya, walaupun informasi tentang bahaya vaksin ini telah dibuktikan tidak benar tapi beberapa orang terus saja menduplikasi dan menyebarkan informasi itu utamamya di media sosial. Keadaan ini menjadi sangat serius setelah ada beberapa outbreak penyakit muncul di beberapa tempat yang sebelumnya tidak pernah ditemukan. Outbreak campak (Measless) yang dilaporkan majalah Science di atas, lalu pada Februari 2009, juga dilaporkan outbreak meningitis yang disebabkan oleh Haemophilus influenza type b (Hib) di Minnesota di mana sebagian besar anak-anak yang terserang termasuk satu yang meninggal punya riwayat tanpa vaksinasi Hib. Dan itu semua dimulai bukan karena orang tua tak mampu membayar biaya vaksinasi (dalam beberapa hal malah gratis), tapi lebih disebabkan mereka terlanjur percaya informasi yang kurang benar tentang vaksin di atas.

Ada beberapa isu lain yang dijadikan alasan untuk menolak vaksin dengan argumentasi yang sangat lemah. Namun untuk menghindari coretan lepas ini menjadi sangat panjang, maka itu pada kesempatan yang lain saja nampaknya. Pesannya adalah, vaksinasi merupakan keniscayaan ilmu pengetahuan yang layak diterima. Saya secara pribadi tidak percaya bahwa agama, khususnya Islam menolak bahkan mengharamkan vaksinasi. Kalau meminjam salah satu ayat dalam Qur’an pada surah An Nisa: 9, bukankah kita diperintahkan untuk tidak meninggalkan generasi yang lemah di belakang kita. Saya kira itu termasuk generasi yang sakit-sakitan dan rentan terserang penyakit berbahaya.  Jadi mari melindungi mereka dengan vaksinasi lengkap.

Sumber bacaan lain:

  1. DeStefano F, Price CS, Weintraub ES. Increasing exposure to antibody-stimulating proteins and polysaccharides in vaccines is not associated with risk of autism. J Pediatr. 2013 Aug;163(2):561-7. Epub 2013 Mar 30.
  2. Price CS, Thompson WW, Goodson B, Weintraub ES, Croen LA, et al. Prenatal and Infant Exposure to Thimerosal From Vaccines and Immunoglobulins and Risk of Autism. Pediatrics. Epub 2010 Sep 13.
  3. Stehr-Green P, Tull P, Stellfeld M, Mortenson PB, Simpson D. Autism and thimerosalcontaining vaccines: lack of consistent evidence for an association. Am J Prev Med. 2003 Aug;25(2):101-6.
  4. Thompson WW, Price C, Goodson B, Shay DK, Benson P, et al. Early Thimerosal Exposure and Neuropsychological Outcomes at 7 to 10 Years. N Engl J Med 2007; 357:1281-1292
  5. Hornig M, Briese T, Buie T, Bauman ML, Lauwers G,et al. Lack of Association between Measles Virus Vaccine and Autism with Enteropathy: A Case-Control Study. PLoS ONE 2008; 3(9): e3140.
  6. Richler J, Luyster R, Risi S, Hsu WL, Dawson G. Is there a 'regressive phenotype' of Autism Spectrum Disorder associated with the measles-mumps-rubella vaccine? A CPEA Study. J Autism Dev Disord. 2006 Apr;36(3):299-316.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun