Mohon tunggu...
Joko Hendarto
Joko Hendarto Mohon Tunggu... Dokter -

Orang Indonesia yang belajar lagi ke negeri orang...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Malaria untuk yang Suka Jalan-Jalan

15 Februari 2014   18:24 Diperbarui: 11 Juli 2015   08:23 2472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar dua minggu yang lalu, seorang kawan, residen orthopedi bertanya pada saya tentang pencegahan malaria. Dia hendak stase ke Papua, salah satu kantong malaria di Indonesia. Setelahnya, adik saya yang baru saja lulus dari IPB juga bertanya hal yang sama, ada perusahaan perkebunan kelapa sawit  di Papua yang menawarinya pekerjaan. Dia tertarik, tapi bagaimana agar terhindar dari malaria?

Ya, secara epidemiologi dan imunologi, orang-orang yang berasal dari daerah non endemik, dimana tidak ada kasus malaria ditemukan akanlebih rentan untuk terkena malaria saat berkunjung ke daerah endemik malaria. Saya berusaha mencari informasi yang terkait dengan pencegahan malaria tersebut, dan ingin sekedar berbagi untuk teman-teman yang membutuhkan, khususnya para traveler entah karena pekerjaan atau sekadar melancong ke suatu tempat dimana kebetulan di tempat itu merupakan daerah malaria.

Untuk menilai endemisitas sebuah tempat, kita bisa mengaksesnya di situs WHO. Ukuran yang kini dipakai adalah Annual Parasite Incidence (API) yang menunjukkan tingkat penemuan parasit malaria dari apusan darah yang dibuat dari pasien yang didiagnosis malaria. Dulu pernah digunakan Annual Malaria Incidence (AMI) tapi sekarang ditinggalkan karena terkadang terjadi over diagnosis, dimana  semua pasien yang demam didiagnosis malaria, walau bisa jadi penyebabnya bukan malaria. Berikut peta malaria yang bisa digunakan oleh kawan-kawan sebagai salah satu rujukan di Indonesia.

Secara umum kita bisa membedakan waktu travelling seseorang ke daerah endemik menjadi short term traveller dan long term traveller. Di salah satu jurnal NEJM, short term traveller didefinisikan sebagai kunjungan maksimal 3 minggu, walaupun CDC mendefiniskannya lebih panjang lagi maksimal 6 bulan, lebih dari 6 bulan maka dikatakan sebagai long term traveller. Mengapa hal ini penting, karena tentu saja semakin lama seseorang tinggal di daerah endemik, maka semakin besar resiko dia terpapar dengan gigitan nyamuk  pembawa parasit malaria. Selain itu, resiko long term traveller terkena malaria juga disebabkan karena semakin lama orang berada di suatu daerah endemik malaria, biasanya mereka akan merasa terbiasa dan abai dengan pencegahan malaria yang sebelumnya telah mereka lakukan.

Dari literatur yang ada, tak ada upaya yang bisa seratus persen mencegah orang terkena malaria. Tapi setidaknya kita bisa meminimalkan kejadian malaria pada seseorang melalui beberapa upaya pencegahan. Untuk mencegah malaria, ada dua pendekatan yang bisa dilakukan. Pertama, memastikan bahwa seseorang tidak tergigit dengan nyamuk anopheles, vektor malaria. Nyamuk anopheles sendiri adalah nyamuk yang menggigit mulai senja hingga fajar menjelang. Belum ada laporan sejauh ini bahwa ada anopheles yang menggigit siang hari.  Nyamuk anopheles inilah yang nantinya akan menularkan plasmodium, parasit penyebab malaria.  Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan spesies nyamuk anopheles. Dari sekitar 470 spesies anopheles di seluruh dunia, kita bisa menemukan 80 spesies di Indonesia, dan dari 80 spesies itu terdapat sekitar 22 spesies yang telah dikonfirmasi sebagai pembawa penyakit malaria.

Secara tradisional ada 4 jenis plasmodium yang dikenal bisa menyebabkan malaria, Plasmodium falciparum, P. vivax, P. ovale dan P. malariae. Dua jenis pertama yang paling sering ditemukan di Indonesia, paling berat memberikan efek klinis dan khususnya P. falciparum adalah spesies yang paling banyak menyebabkan kematian. Dan terakhir juga ditemukan Plasmodium knowlesi. Sebelumnya merupakan penyebab malaria pada primata, namun telah ada laporan bahwa parasit ini dapat juga menyebabkan malaria pada manusia. Kasusnya sudah dilaporkan dari Kalimantan Utara di wilayah Sarawak, Malaysia.

Menggunakan celana panjang, baju lengan panjang, repellen dan tidur dengan menggunakan kelambu, kalau boleh yang berinsektisida. Tindakan diatas adalah beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah gigitan nyamuk. Penggunaan repellen dengan kandungan DEET sekitar 30-50% membutuhkan pemakaian ulang kira-kira setiap 4-6 jam. Nah, repellen yang beredar di Indonesia kira-kira kadar DEET-nya sekitar 15-25 %, pengalaman kami di Sumba, repellen jenis ini waktu kerjanya sangat singkat, 2-3 jam kemudian nyamuk sudah datang lagi mengigit. Ada juga repellen yang kandungan DEET-nya hingga 99%, bisa melindungi dari gigitan nyamuk hingga lebih dari 8 jam. Di Sumba, kami akhirnya memakai produk ini, sayangnya repellen yang salah satunya buatan SC Johnson ini belum dijual bebas di Indonesia.

Nah, aktifitas dengan sendirinya akan sangat mempengaruhi apakah seseorang rentan atau tidak untuk terkena tergigit nyamuk. Aktifitas malam hari di luar rumah akan sangat meningkatkan kemungkinan seseorang tergigit nyamuk dan pada akhirnya terjangkit malaria. Gigitan nyamuk anopheles di daerah dengan tingkat transmisi tinggi dalam beberapa waktu saja dengan jumlah nyamuk yang tidak banyak , sudah cukup untuk membuat seseorang tersebut beresiko terkena malaria. Perlu diingat bahwa, plasmodium, si parasit malaria ini mempunyai daur siklopropagatif dalam tubuh manusia, artinya selain mempunyai  kemampuan berubah bentuk, mereka juga bisa memperbanyak diri, dalam tubuh manusia secara aseksual dan dalam tubuh nyamuk secara seksual. Jadi sedapat mungkin hindari aktifitas di luar rumah, apalagi tanpa perlindungan diri.

 

13924381761198699553
13924381761198699553

Pendekatan kedua adalah dengan obat-obat kemoprofilaksis. Sejauh ini ada empat macam obat yang direkomendasikan untuk pencegahan malaria yakni Atovaquone-Proguanil, Mefloquine, Doxycycline dan Primakuin. Klorokuin tidak dianjurkan lagi mengingat sangat luasnya area dimana obat ini sudah mengalami resistensi. Klorokuin masih bisa digunakan jika kita yakin bahwa di daerah tersebut Klorokuin masih sensitif. Nah, wilayah dimana klorokuin masih sensitif ini bisa di akses di situs WHO.

Sebelum kita membahas satu persatu obat kemoprofilaksis diatas hal yang perlu diketahui bahwa efek proteksi dari beberapa kemoprofilaksis diatas bekerja saat parasit yang sudah matur dari siklus hati keluar dan menginfeksi sel-sel darah merah. Artinya saat sporozoit masuk melalui gigitan nyamuk, obat-obat kemoprofilaksis belum bekerja disana. Olehnya itu penggunaan obat-obat kemoprofilaksis dianjurkan dilakukan beberapa hari  sebelum berkunjung ke daerah endemik agar kadar obat yang protektif sudah ada dalam tubuh sebelum nyamuk menggigit. Untuk fase dimana parasit malaria berada di dalam hati, sejauh ini cuma terdapat satu obat yang dianggap efektif yakni Primakuin.

Selain itu setelah pulang traveler pun tetap dianjurkan minum obat beberapa hari hingga beberapa minggu. Hal ini untuk mencegah seandainya masih ada parasit malaria dalam sel-sel hati yang masih mungkin menginfeksi sel darah merah. Misalnya, Atovaquone-Proguanil dan Doxycycline diberikan 1-2 hari sebelum ke daerah endemik dan 1 minggu setelah dari daerah endemik.  Meflokuine diberikan setidaknya 2 pekan sebelum berkunjung sedang Klorokuin diberikan 1 pekan sebelum berkunjung dan dilanjutkan sekitar 3 minggu setalah pulang dari daerah endemik.

Untuk detail tentang masing-masing obat kemoprofilaksis akan kita diskusikan pada bagian kedua coretan-coretan lepas ini agar tidak terlalu panjang. Saya khawatir kawan-kawan mungkin yang sempat membacanya akan kelelahan. Pada bagian kedua akan kita coba juga untuk berbagi  tentang anjuran bagi ibu hamil dan anak-anak yang ikut bepergian ke daerah endemik. Untuk kawan-kawan yang bukan dokter yang sempat membaca coretan-coretan lepas ini dan berencana menggunakan kemoprofilaksis, sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokternya mengingat obat-obat kemoprofilaksis diatas adalah obat keras yang mempunyai efek samping juga terdapat kontraindikasi dimana obat tersebut tidak boleh digunakan karena berbahaya. Hmm, mudah-mudahan ada manfaatnya ya. Sekian dulu. Terima kasih.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun