Mohon tunggu...
Joko Hariyono
Joko Hariyono Mohon Tunggu... -

Research Fellow @ University of Ulsan, South Korea

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pemimpin Para Pemimpin

7 Mei 2014   21:47 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hari Pendidikan Nasional selalu mengingatkan kita pada kata bijak Bapak Guru Bangsa, Ki Hajar Dewantara, “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” Terjemahan kasarnya versi saya pribadi, di depan jadilah teladan, ditengah bengunlah prakarsa/inspirasi, dibelakang jadilah pendorong.

Slogan ini ditempel di hampir semua sekolah di tanah air, namun sering pudar seiring waktu. Kemudian ini seolah menjadi pemicu krisisnya kepemimpinan di negeri ini.

Setiap terjadi pergantian Presiden, beban terbesar untuk menentukan kandidat capres-cawapres sebenarnya tidak hanya ada di Partai Politik, namun beban yang ditanggung Rakyat Indonesia untuk memustuskan siapa yang lebih pantas “Memimpin” jauh lebih besar.

Berbeda dengan jabatan karir di sebuah institusi pemerintahan, atau organisasi maupun lembaga professional, “Orang Nomor 1” umumnya dipilih melalui mekanisme penilaian atau assessment yang fair (adil). Kemungkinan kesalahan kompetensi bisa ditekan seminimal mungkin. Mekanisme pemilihan kandidat Capres – Cawapres di internal partai seharusnya dilakukan seperti itu juga, sehingga rakyat tidak perlu menghabiskan energi cukup besar untuk menghabiskan biaya psikologis karena perbedaan pandangan antara penilaian publik maupun internal partai politik.

Rakyat seolah disuguhi simbol-simbol kepemimpinan oleh partai politik, ketimbang ditawarkan “Sosok” Pemimpin yang karyanya terbukti memberikan manfaat bagi banyak orang, figur yang pantas dijadikan contoh dan teladan bagi banyak orang atau pun seseorang yang ikhlas mendermakan waktu dan kemampuannya bagi kemajuan sebuah bangsa.

Nomor 1 seolah adalah “TUJUAN” untuk diperebutkan, bukan sebuah pencapaian. Wajar jika kemudian mendekati masa-masa pemilihan presiden, ia rela mengeluarkan banyak uang untuk membayar konsultan, media massa dan memoles profil figure agar terlihat manis dimata dan telinga rakyat Indonesia. Sepertinya itu hal yang wajar bagi kondisi bangsa saat ini, namun pemborosan yang tidak perlu terjadi jika setiap individu memahami.

Nomor 1 adalah kualitas. Bisa jadi banyak orang yang menginginkan menjadi nomor 1, namun kualitas terbaiklah yang menempatkan ia ada disana. Sepertinya hampir tidak ada sebuah tim olahraga datang ke sebuah turnamen untuk tidak menginginkan meraih juara (nomor 1).Kalaupun mungkin ia gentar menghadapi tim-tim lawan yang punya reputasi lebih besar dari timnya, namun dalam hati kecil manusia normal ia pun berharap menjadi juara.

Tidak sedikit, nama besar itu mampu dikalahkan dengan kerasnya usaha dan kemauan. David bisa mengalahkan Goliath, Nabi Musa mampu menundukkan kesombongan Firaun yang meng”Claim” sebagai “Nomor 1” dan bala tentaranya, serta masih banyak contoh lainnya. Ini terjadi bukan karena kebetulan, namun kualitas pribadi yang dibangun dari hari ke hari yang tidak kita sadari telah menempatkan kita ada di posisi yang kita duduki saat ini. Dan tentu saja kita tidak mengesampingkan peran Tuhan sebagai sebaik-baiknya pemberi keputusan dan pelajaran, namun peran manusia tetap signifikan dalam membangun kualitas individunya.

Pemimpin sejati pada akhirnya tidak selalu harus ada didepan. Ia selalu berhasil menempatkan dirinya, dimanapun ia berdiri. Di depan ia dapat memberikan contoh yang baik, ini terbukti dari hal terkecil yaitu menjadi ayah yang baik bagi keluarganya. Ditengah inisiatifnya dapat diandalkan, terlihat dari bagaimana ia diterima oleh masyarakat disekitarnya, tentu saja ini menjadi inspirasi bagi lingkungan sekitarnya. Dibelakang ia adalah jiwa kesatria yang ikhlas memberikan jalan bagi banyak pemimpin lainnya. Di saat seorang pemimpin sebuah organisasi secara legowo memberikan kesempatan bagi kader terbaiknya untuk menjadi pemimpin, sebenarnya ia telah bertransformasi menjadi pemimpin sejati. Dibutuhkan sikap kesatria dari seorang senior untuk menghargai secara objektif karya para yuniornya. Sebenarnya ini bukan menurunkan kadar kepemimpinannya, justru menempatkan dirinya sebagai pemimpin yang sesungguhnya.

Untuk membangun Indonesia yang sangat besar, tidak hanya dibutuhkan “Seorang” Pemimpin. Namun dibutuhkan “Pemimpin para Pemimpin”, yaitu pemimpin sejati. Di depan ia adalah teladan yang baik, bersama orang-orang disekitar inisiatifnya menginspirasi banyak orang dan dibelakang sekalipun ia mendorong dan memotivasi orang lain agar tumbuh menjadi pemimpin Indonesia di masa depan.

Joko Hariyono

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun