Di Desa Mentari, para penduduknya hidup dengan latar belakang yang beragam. Ada yang petani dan ada pula pedagang. Sebagian besar penduduknya mengikuti tradisi lama, namun ada pula yang mencoba gaya hidup baru. Meski terlihat damai, perbedaan ini kadang menjadi api kecil yang menyulut perselisihan, terutama dalam cara beribadah atau menjalankan kebiasaan sehari-hari.
Tetapi dibalik itu semua, tinggal seorang pemuda bernama Adi. Ia dikenal sebagai sosok yang bijak dan sering menjadi penengah dalam sebuah konflik di desa. Adi memiliki prinsip yang ia pegang teguh yaitu: "Perbedaan adalah rahmat, bukan alasan untuk berpecah belah." Prinsip ini ia pelajari dari sebuah hadist Rasulullah SAW yang berbunyi:
"Perbedaan di antara umatku adalah rahmat." (HR. al-Baihaqi).
Suatu hari, perselisihan besar terjadi di Desa Mentari. Penduduknya terbagi menjadi dua kelompok karena perbedaan pendapat tentang tata cara pelaksanaan shalat Tarawih. Kelompok pertama ingin melaksanakan delapan rakaat, sementara kelompok kedua bersikeras melaksanakan dua puluh rakaat. Perdebatan ini memanas, bahkan hampir membuat warga saling bermusuhan.
Adi yang mendengar kabar ini merasa sedih. Ia memutuskan untuk bertindak mendamaikan konflik tersebut. Setelah shalat Jumat, ia mengumpulkan seluruh warga di balai desa. "Saudara-saudaraku," katanya dengan nada lembut, "apakah kalian lupa bahwa Islam mengajarkan persatuan? Perbedaan seperti ini seharusnya menjadi rahmat, bukan menjadi penyebab perpecahan."
Salah seorang warga dari kelompok pertama menyahut, "Tapi Adi, tata cara yang mereka lakukan tidak sesuai dengan yang kami yakini."
Adi menjawab sambil tersenyum. "Bukankah Rasulullah SAW tidak pernah membatasi jumlah rakaat Tarawih? Beliau memberi kebebasan, dan para sahabat pun melaksanakannya dengan jumlah yang berbeda. Yang penting adalah niat kita dan kebersamaan kita."
Kelompok kedua mulai melunak, tetapi seorang tokoh desa berseru, "Tapi Adi, jika kita membiarkan perbedaan seperti ini, desa kita bisa kacau!"
Adi tetap bersikap tenang dan berkata. "Justru, desa ini akan kacau pak jika kita tidak menghormati perbedaan. Mari kita lihat pelangi di langit yang indah karena beragam warna, bukan hanya satu warna. Begitu juga kita, umat Islam. Jika kita saling melengkapi, kita akan menjadi lebih kuat."
Mendengar penjelasan itu, warga mulai merenung. Mereka sadar bahwa perbedaan ini sebenarnya tidak perlu menjadi masalah besar. Akhirnya, mereka sepakat untuk melaksanakan Tarawih sesuai keyakinan masing-masing, tanpa saling menghakimi. Beberapa bahkan memutuskan untuk bergabung dan mencoba memahami cara yang berbeda.
Suatu hari, seorang anak kecil bertanya kepada Adi, "Bang Adi, kenapa sih abang selalu mendamaikan orang yang bertengkar? Bukannya lebih gampang kalau kita biarkan saja mereka?"
Adi tersenyum sambil menjawab, "Karena Rasulullah SAW mengajarkan bahwa menyatukan orang yang berselisih itu adalah salah satu amal yang paling dicintai Allah. Perbedaan bukanlah masalah, asal kita saling menghormati dan mencari titik temu."