[caption id="attachment_352861" align="aligncenter" width="491" caption="fokusmedan.com"][/caption]
Kegiatan impor merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh setiap negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Impor pada dasarnya menunjukkan bahwa setiap negara itu tidak bisa hidup sendiri, ia layaknya seperti manusia memerlukan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Impor juga menunjukkan bahwa setiap negara memiliki kelemahan dalam memenuhi kebutuhannya sehingga mau tidak mau harus membeli dari negara lain.
Sampai saat ini, kegiatan impor juga masih dilakukan oleh Indonesia, khususnya impor beras. Impor sama dengan membeli hanya saja uangnya masuk pendapatan negara lain. Impor beras Indonesia seperti yang dikatakan oleh media neraca.co.id (27/03/2013), masih mengimpor dari negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand. Baru-baru ini seperti yang diberitakan oleh kompas.com menyebutkan bahwa Indonesia masih mengimpor beras, padahal produksi padi Indonesia mengalami surplus. Dalam hal ini, di kalangan pemerintah, terutama di kemeterian pertanian saling lempar tanggung jawab. Beberapa bulan yang lalu, saat Hatta rajasa masih menjabat sebagai menkoperekonomian, beliau menyebutkan bahwa soal impor beras merupakan wewenang dari kementerian pertanian (kementan) sehingga tampak beliau tidak mampu menjawab soal impor beras ini.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statitik (BPS), produksi padi tahun 2013 kemarin saja mencapai 71.279.709 ton dengan produktivitas sebesar 51,52. Produksi padi tersebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yang sebesar 69.056.126 ton dengan produvtivitas sebesar 51,36. Kenyataan tersebut menjadi deskripsi sepintas mengenai besarnya produksi beras Indonesia. Tetapi, tetap saja pemerintah melalui BULOG harus mengimpor lantaran konsumsi beras masyarakat Indonesia yang terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Jika tidak mengimpor, maka akan terjadi kenaikan harga beras dalam negeri yang tinggi sebab jumlah permintaan lebih tinggi dari jumlah persediaan beras dalam negeri. Meskipun di satu sisi, impor juga akan menghancurkan harga beras di tingkat petani karena harga mereka berpotensi dipermainkan oleh para tengkulak.
Impor beras Indonesia secara historis memang sering mengalami surplus, tetapi jumlah permintaan beras melebihi surplus tersebut. Terbukti bahwa Indonesia menempati urutan pertama negara konsumen beras terbesar (nerac.co.id, 27/03/2013). Konsumsi beras Indonesia mencapai 102 kg/kepita/tahun. Tingkat konsumsi tersebut melebihi konsumsi beras negara Asia, seperti Korea yang hanya 60 kg/kapita/tahun, Jepang 50 kg/kapita/tahun, Tahiland 70 kg/kapita/tahun, dan Malaysia sebesar 80 kg/kapita/tahun. Perbedaan ini tentu masih dapat dimaklumi karena memang Indonesai masih menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok. Desakan impor tersebut pada dasarnya bertujuan agar kuota beras akhir tahun Indonesia masih mencukupi maka mau tidak mau pemerintah harus megimpor beras. Beberapa tahun ini, Indonesia terjerat desakan impor beras ke Vietnam yang ternyata diselewengkan oleh oknum importir. Tentu, dalam kasus ini pun, di kementerian pertanian, BULOG, dan pemerintah sendiri masih saling lempar tanggung jawab.
Dalam opsi pertama, realisasi impor beras ini banyak dipermainkan oleh para mavia importir. Pemerintah hendak membatasi impor beras, tetapi swasta ternyata terus mengimpor beras. Akibatnya, pemerintah sendiri tampak kebingungan dalam menjelaskan kepada masyarakat sebab jika terdapat fenomena seperti ini, biasanya pemerintah yang menjadi sasaran. Kurangnya pengawasan terhadap kegiatan impor, terutama di kepabeanan menyebabkan hal tersebut rentan terjadi. Oleh karena itu, sudah sewajarnya pemerintah hendaknya lebih memperketat pemeriksaan impor beras ke Indonesia.
Opsi kedua yang hendaknya dimengerti oleh masyarakat agar tidak sertamerta menyalahkan atau mencari kambing hitam dalam masalah surplus beras tetapi masih saja mengimpor adalah bahwa Indonesia sampai saat ini masih dilanda oleh efek fenomena El Nino yang menyebabkan curah hujan di Indonesia berkurang sehingga ini merupakan kondisi yang buruk bagi Indonesia. El Nino juga sangat berpengaruh terhadap produksi pertanian, terutama produksi padi. El Nino yang merupakan fenomena 3 - 8 tahunan sekali ini biasanya memberikan dampak 12 bulan hingga 18 bulan sehingga akan mengurangi produksi pertanian.
Dengan demikian, impor adalah sebuah keniscayaan sebab jumlah permintaan yang jauh melampaui stok yang ada. Ini memerlukan usaha keras dari tingkat petani hingga pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan produksi beras kedepan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H