Kesehatan reproduksi dan mental remaja merupakan kunci untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Kedua hal ini merupakan hal yang penting sebab baru-baru ini, pemberitaan mengenai kekerasan seksual terhadap anak dan kenakalan remaja sangat marak terjadi. Kekerasan seksual dan kenakalan remaja sebetulnya sudah terjadi sejak dulu, namun peran media sosial sebagai mekanisme penyebaran informasi menyebabkan kasus kekerasan seksual dan kenakalan remaja merambah di seluruh elemen lapisan masyarakat. Andai saja teknologi informasi dan komunikasi dapat dikontrol dengan baik, atau setidaknya difilter dari agen sosialisasi terkecil, kemungkinan akan menekan kejadian kekerasan seksual dan kenakalan remaja.
Kekerasan seksual pada anak dan remaja yang beberapa tahun terakhir menjadi pemberitaan yang terbilang viral pada dasarnya tidak terlepas dari pendidikan reproduksi. Pendidikan reproduksi yang dimaksud tidak hanya pada aspek bagaimana merawat organ reproduksi dengan baik dan berkualitas, tetapi juga bagaimana menjaga organ reproduksi dari ancaman internal maupun ancaman eksternal. Pendidikan reproduksi pertama kali dapat dilakukan dengan pendidikan mental pada remaja.
Sebab, segala perilaku remaja, baik yang bernilai positif atau negatif, itu ditentukan oleh kualitas dari mentalnya. Pada taraf inilah diperlukan pendidikan agama yang baik. Konstruksi mental sangat dipengaruhi oleh keimanan yang tertanam dalam hati dan pikiran manusia. Apabila pendidikan agama gagal di dalam mengkonstruksi keimanan remaja , maka mereka rentan terpengaruh oleh nafsu yang beradar di dalam dirinya.
Sebaliknya, apabila pendidikan agama berhasil menanamkan keimanan, maka akan terbentul mental yang kuat dan selalu mengarah kepada hal-hal yang positif. Mental yang berkualitas inilah yang bermuara pada pembentukan karakter remaja yang baik. Sebab, dari sudut internalnya, ia mampu mengendalikan diri serta pandai mengolah emosionalnya. Tidak hanya itu, mental yang berkualitas akan menjadi "rem" remaja apabila terdapat faktor eksternal yang menginjeksi ke dalam benak pikirannya. Mental yang positif inilah yang menjadikan seorang remaja mempunyai kesadaran bahwa ia harus mampu melindungi dirinya, terlebih menjaga kehormatan dari risiko kekerasan orang lain.
Di dalam proses pembentukan mental yang berkualitas inilah, keluarga merupakan elemen terpenting untuk merealisasikannya. Keluarga harus "hadir" di dalam setiap fase perkembangan remaja. Perhatian dari keluarga merupakan hal terpenting agar pembinaan aspek perilaku dan kontrol terhadap remaja berlangsung secara efektif. Efektif dalam artian mampu memberikan arahan kepada remaja untuk selalu merawat kesehatan organ vitalnya dari penyakit, terlebih menjaganya dari kejadian kekerasan seksual.
Keluarga menempati posisi sentral dalam memegang kontrol remaja dalam bersosialita dengan lingkungan sekitarnya. Sangat disayangkan apabila kita menyaksikan orang tua yang menelantarkan anak-anaknya sehingga anaknya pergi entah kemana, tiba-tiba diberitakan meninggal dengan kekerasan terhadap organ sesksualnya. Tidak jarang kita pula mendengar adanya pemberitaan seorang bocah yang masih belia diperkosa oleh puluhan orang hingga meninggal. Pada posisi inilah keluarga seharusnya menjadi "lahan preventif" supaya hal yang demikian tidak terjadi.
Pendidikan mental yang berasal dari orang tua sebetulnya sangat mudah diimplementasikan, dengan syarat utama sebelumnya, yakni penguatan iman sebagai elemen internal di dalam diri remaja. Ada semacam tendensius di kalangan masyarakat mengenai kasus kekerasan seksual dan kenakalan remaja, remaja yang terkena kekerasan seksual bisa jadi bila orang tuanya tidak pernah memerhatikan kebutuhannya sehingga ia gampang lepas kontrol. Kondisi lain misalnya seorang remaja yang ikut temannya pesta miras dan narkoba bila ditelisik disebabkan oleh kurangnya pendidikan agama dari orang tuanya.
Hal demikian seyogyanya tidaklah terjadi apabila orang tua yang menjadi pemimpin sebuah keluarga selalu menemani anaknya, mereka memang tidak mengekang anaknya bermain dengan siapa saja dan mau melakukan apa saja, tetapi mereka selalu mengontrol anaknya kapanpun dan dimanapun. Inilah konsep pendidikan 'layang-layang'. Layang-layang itu memang bisa terbang tinggi oleh tiupan angin, bebas mengarah kemana saja, tetapi orang tua sebagai pemegang tali dari layang-layang itu. Anak tumbuh dan berkembang secara merdeka, tanpa kekangan dan kungkungan, tetapi orang tua harus hadir sebagai pengontrol supaya anaknya tidak salah langkah ataupun salah pemikiran.
Apabila pendidikan dalam keluarga berhasil, maka kesadaran remaja terhadap dirinya akan meningkat. Ia paham bahwa merawat organ seksual itu sangat penting, ia juga mengerti betul dampak-dampak negatif bila bergaul dengan teman-teman yang buruk. Ia juga memahami ari penting sebuah kehormatan dirinya. Ia juga mengetahui apa yang harus diperbuat apabila berada di dalam lingkungan yang buruk. Ia tahu dampak melakukan seks di luar nikah atau berhubungan intim sembarangan. Ia mengetahui dampak negatif dari narkoba dan minuman keras serta perjudian. Lebih jauh lagi, ia betul-betul menyakini bahwa ia harus menemukan kehendak Tuhan di dalam kehendak dirinya sehingga karakter dan kepribadiannya menjadi kokoh. Walhasil, akan tercipta keshalihan-keshalihan sosial yang timbul dari dalam diri remaja.
Menyentuh pada agen sosial selanjutnya adalah lingkungan. Lingkungan merupakan faktor eksternal yang memengaruhi tumbuh dan kembang remaja sebagai mahluk sosial. Lingkungan yang buruk, niscaya akan melahirkan dan membentuk karakter serta kepribadian remaja yang buruk. Sebaliknya, lingkungan yang kondusif dan berkualitas akan melahirkan dan membentuk karakter serta kepribadian remaja yang berkualitas pula. Di sinilah pemerintah wajib 'hadir' di dalam menyokong harapan-harapan terbaik bagi remaja.
Pemerintah melalui mekanisme pendidikan sekolah dan keamanan lingkungan perlu menawarkan solusi tentang arti penting pendidikan organ seksual dan mental remaja. Kegiatan-kegiatan yang bersifat preventif sangat diperlukan untuk menekan banyaknya kasus kekerasan seksual dan kenakalan remaja. Tidak hanya itu, pemerintah bisa menciptakan sebuah agenda semisal mengaji selepas maghrib, kegiatan-kegiatan ibadah di gereja dan kagiatan positif lainnya yang mengarah kepada kekompakan masyarakat dan memumpuk keharmonisan. Dari sini akan timbul masyarakat yang kondusif, ajeg serta aman, terutama untuk menjamin dan menekan kejadian kekerasan terhadap anak atau kekerasan seksual remaja.