Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kabinet Ramping Mengancam Independensi Data BPS

13 September 2014   07:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:49 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan salah satu lembaga non-departemen yang memiliki tanggungjawab langsung kepada presiden. BPS secara khusus memiliki fungsi penting sebagai lembaga yang menyediakan sekaligus menghasilkan data-data statistik Indonesia sebagai bahan baku pengambilan keputusan pembangunan nasional di berbagai bidang. Sebagai lembaga kenegaraan yang memiliki hubungan vertikal kepada presiden, maka BPS merupakan satu lembaga independen yang tidak terkait dengan kementerian.

Secara historis, BPS didirikan berdasarkan Undang - Undang (UU) nomor 6 tahun 1960 tentang Sensus dan UU nomor 7 tahun 1960 tentang statistik. Sementara peraturan terbaru yang menyokong keberadaan BPS adalah UU nomor 16 tahun 1997 tentang Statistik. Berdasarkan ketiga jenis peraturan itulah BPS yang semula bernama depan Biro menjadi Badan.

Berdasarkan aturan yang berlaku, terutama UU nomor 16 tahun 1997, BPS memiliki fungsi mendasar sebagai badan yang menghasilkan sekaligus menyelenggarakan kegiatan statistik, baik Sensus maupun Survei yang ada di Indonesia. Output yang dihasilkan oleh BPS meliputi (1) statistik dasar yang sepenuhnya diselenggarakan dan dilaksanakan oleh BPS, seperti Sensus Penduduk (SP) (setiap 10 tahun sekali, atau pada tahun yang berakhiran angka nol), Sensus Pertanian (ST) (pada tahun yang berakhiran angka 3, terakhir tahun 2013 kemarin), dan Sensus Ekonomi (SE)(pada tahun yang berakhiran angka 6, pada tahun 2016 nanti). (2) Statistik Sektoral, yakni statistik yang dihasilkan oleh instansi pemerintah secara mandiri atau dengan BPS melalui kerjasama, misalnya Sensus Sapi 2011 atau PSPK. Selain itu, BPS juga merilis angka statistik khusus, yakni kegiatan statistik yang dilakukan oleh lembaga, instansi lain, organisasi, perorangan, atau unsur masyarakat secara mandiri atau bekerjasama dengan BPS.

Sebagai lembaga non-departemen, selama ini kedudukan BPS dalam lembaga pemerintah tetaplah independen. Kondisi tersebut menjadikan BPS sebagai lembaga pemerintah yang khusus berperan sebagai check and control semua angka statistik lembaga pemerintah. Bukti independensi BPS dalam hal ini terlihat dari angka BPS terkadang tak memihak kepada pemerintah, misalnya data pertumbuhan ekonomi yang menurun, data kemiskinan yang naik, jumlah penggangguran yang naik, dan fakta-fakta lainnya. Pada posisi ini, BPS terbukti mampu menghasilkan angka-angka statistik yang memang apa adanya, bukan ada apanya seperti pemberitaan media.

Komitmen BPS sebagai lembaga independen juga ditunjukkan oleh keberaniannya untuk terus melakukan perbaikan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada serta kontrol kualitas kinerja setiap periodenya. Selain itu, BPS juga tengah melakukan akselerasi baku mutu dengan mereformasi birokrasi seluruh elemen yang ada sebagai bukti bahwa BPS memiliki konsistensi yang tinggi dalam menghasilkan data-data yang berkualitas, objektif, apa adanya, dan tanpa rekayasa.

Namun, dalam menuju suksesi kepemimpinan Indonesia yang baru ini, BPS kedepan akan dihadapkan oleh tantangan besar. Berdasarkan informasi dari suaramerdeka.com (11/09/2014), terdapat rencana pemerintahan yang baru atau kabinet Joko Widodo dan Jusuf Kalla akan mengadakan peleburan kementerian dari yang awalnya 34 kementrian dan 22 lembaga non-kementerian menjadi hanya 16 kementerian tanpa menko. Rencana tersebut diumumkan oleh kepala penelitian pusat The Jokowi Institute, Muhammad Sadli Andi. Dari 16 kementerian yang diusulkan oleh Sadli, BPS diwacanakan akan melebur menjadi satu dengan dua lembaga, yaitu Lembaga Arsip Nasional, dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Kebijakan yang menyangkut mengenai penghematan anggaran negara pemerintahan Jokowi-JK memang terbilang baik. Peleburan kementerian tersebut katanya diproses dengan pertimbangan bahwa terdapat sejumlah kementerian yang secara substansial memiliki kemiripan fungsi dan peranan dalam pemerintahan. Dari segi anggaran, memang terlihat irit, tetapi apakah pemerintah yang baru, terutama kepala penelitian The Jokowi Institute sudah mempertimbangkan beberapa hal berikut.

(1) BPS itu pusat data, jadi BPS secara luwes akan mampu digabung dengan kementerian manapun jika memang pemerintah telah memutuskan. Tetapi konstrainnya adalah, data BPS akan terancam tak independen lagi sebab telah menjadi bagian dari kementerian, bukan lembaga non-kementerian (sebab digabung dengan kemendagri). Bisa saja data BPS nantinya tendensi memihak rezim pemerintahan yang baru sehingga masyarakat mengeluarkan mosi tak percaya yang kronis terhadap data BPS. Ini harusnya dipertimbangkan oleh pemerintahan yang baru. Data-data BPS akan rentang mudah dimanipulasi oleh tangan-tangan kotor sebagai pencitraan keberhasilan rezim atau pemerintahan. Inilah stereotip yang muncul jika BPS dilebur dengan kementerian.

(2) Jika BPS dilebur dengan kementerian, maka peranan BPS sebagai lembaga check and quality control tadi akan hilang. Sebab, data BPS akan hanya bertujuan Asal Bapak Senang (ABS). Sehingga dimungkinkan akan mengancam kedudukan BPS sebagai lembaga yang independen dalam menghasilkan angka statistik.

(3) Jika BPS dilebur dengan kementerian, maka secara struktural, peranan vertikal BPS tak lagi jelas dan datanya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, data yang dihasilkan oleh BPS terancam hanya ABS tadi.

(4) Setiap lembaga dan kementerian juga memiliki lingkup terkecil yang berbeda-beda. Oleh karena itu, wacana peleburan kementerian dan non-kementerian juga sebaiknya melaihat dahulu kondisi dan lingkup yang ada pada setiap lembaga. Wilayah cakupan terkecil BPS hingga kabupaten/kota, tentu wilayah cakupan kerja terkecil tersebut tak sama dengan kemendagri atau arsip nasional. Kemendagri hanya setingkat provinsi, arsip nasional pun beda lagi cakupan wilayah kerja terkecilnya sehingga kondisi semacam itu akan membuat proses jika terjadi peleburan akan sangat memerlukan waktu penyesuaian yang panjang dan rumit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun