Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Jika Uang Korupsi Menjadi Bekal Membangun Negeri

4 Juni 2014   19:44 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:22 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tindakan penyimpangan jabatan secara sistemik kerap kali terjadi di Indonesia. Berbagai bentuk kasus suap entah di atas meja entah di bawah meja seolah menjadi budaya dalam beberapa dekade terakhir ini. Fenomena tersebut tidak hanya terjadi sejak negara yang namanya Indonesia pertama kali terbentuk, tetapi juga sampai tahun 2014, banyak ditemukan kasus korupsi yang berhasil menyeret orang-orang besar di Indonesia menuju istana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kerugian negara akibat tindakan korupsi dari tahun 2000 – 2014 memang mengalami penurunan yang signifikan, terutama jika dilihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Dalam dua tahun terakhir (2012 – 2013), skor IPK Indonesia stagnan pada angka 32 dari rentang skor IPK 0 – 100 (Kompas, 2014). Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia naik peringkat dari urutan 118 ke 114 dari 176 negara yang disurvei. Karena angka tersebut menunjukkan persepsi, maka ada beberapa makna mengenai kenaikan angka IPK tersebut. Pertama, kenaikan IPK mengalami kenaikan bukan disebabkan dari membaiknya kinerja dan prestasi pencegahan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, melainkan IPK dari negara yang lain semakin memburuk. Kedua, karena IPK merupakan indeks komposit maka untuk melihat kebermaknaan adanya kenaikan skor atau penurunannya, justru ditentukan pada elemen mana yang menyebabkan skor IPK naik. Artinya, kenaikan IPK bisa saja dikarenakan pemerintah lebih giat mengurangi tindakan korupsi pada lembaga pemerintahan saja sementara kelembagaan yang lain kurang tersentuh pengawasan.

Data mengenai kerugian Indonesia setiap tahunnya berkurang mengingat semakin gercarnya pemerintah dalam memerangi tindakan korupsi yang sistemik. Sampai tahun 2014, Indonesia mengalami kerugian total akibat korupsi sebesar 534,3 triliun. ICW sebagai pengamat dan peneliti mengenai kasus korupsi di Indonesia menyatakan bahwa selama tahun 2003 – 2006, kasus korupsi sistemik di sektor kehutanan, yaitu illegal logging menyebabkan Indonesia merugi sebesar 16,8 triliun. Menurut ICW (2007), kasus korupsi sistemik di sektor sosial kemasyarakatan menyebabkan negara mengalami kerugian sebesar 0,3 triliun. Sementara itu, korupsi yang juga menjamur di sektor keuangan daerah adalah sebesar 0,4 triliun yang bersumber dari keuangan pemerintah kota (0,1 triliun), BUMN (0,2 triliun), pemerintah kabupaten (0,7 triliun), dan di sektor investasi pemerintah sebesar 0,4 triliun. ICW juga menyebutkan, selama tahun 2003 – 2006, pemasukan negara yang hilang per tahunnya mencapai 20 triliun. Ditambah pula kerugian negara akibat adanya kasus BPPC yang merugikan negara sebanyak 16,8 triliun. Laporan dari BPK (2000 – 2008), hasil audit keuangan negara di sektor tambang migas menyebabkan negara mengalami total kerugian sebesar 346 triliun. Belum ditambah lagi dengan kasus BLBI, Bank Century dan proyek Hambalang dengan total 146,3 triliun.

Menyangkut kerugian negara akibat tindakan korupsi tersebut, sebenarnya Indonesia ini mampu membangun mega infrastruktur yang nantinya mampu menjamin kekuatan ekonomi nasional. Pembangunan ekonomi nasional dapat dilakukan dengan memantapkan pembangunan akses ekonomi di setiap wilayah di Indonesia, salah satunya dengan membangun jembatan penyeberangan antar pulau. Jika Indonesia ini mampu menyatukan kewilayahan dengan mekanisme aksesibilitas darat antar pulau, maka pergerakan roda perekonomian memiliki akselerasi yang lebih baik. Dengan kemudahan akses daratan antar pulau, Indonesia akan mampu seperti negara yang secara kewilayahan tidak terpisah. Perekonomian akan stabil karena inflasi antar wilayah dapat dikontrol dengan baik. Dengan adanya jembatan sebagai akses darat antar pulau, maka kegiatan pendistribusian barang antar pulau akan memberikan pengaruh positif dalam menurunkan tingkat inflasi. Kemudahan akses ekonomi juga secara langsung dapat meningkatkan ketahanan pangan di setiap pulau. Namun, darimana negara ini bisa membangun jembatan antar pulau tersebut ?.

Sumber utama negara ini sebenarnya juga didapatkan dari asset negara yang telah dikorupsi tersebut. Konsep pembangunan jembatan antar pulau atau antar wilayah juga bisa dielaborasikan dengan jumlah dana yang dibutuhkan untuk membangun jembatan yang telah ada, misalnya jembatan Suramadu, jembatan Selat Sunda, jembatan Penajam – Balikpapan, dan jembatan Mahkota II Samarinda.

14018604481764490829
14018604481764490829


Data menyebutkan, bahwa pembangunan jembatan Suramadu yang memiliki panjang 5.438 meter menghabiskan uang negara sebesar 4,5 triliun. Lalu, mega proyek jembatan Selat Sunda yang panjangnya 24.700 meter menghabiskan dana sebesar 225 triliun. Sementara itu, pembangunan proyek jembatan Penajam – Balikpapan (804 meter) dan Mahkota II Samarinda (1.428 meter) menghabiskan dana negara masing-masing sebesar 7 triliun dan 0,94 triliun.

Jika dielaborasikan, dana kerugian negara akibat korupsi sebesar 543, 3 triliun sangat cukup untuk pembangunan 4 macam jembatan dengan total panjang 32.370 meter, bahkan masih bersisa. Data itu pun masih berasal dari temuan dari beberapa sumber saja, karena bisa jadi jumlah kerugian negara yang sebenarnya bisa jauh lebih besar. Konsep penyatuan antar pulau ini, sebenarnya adalah tantangan Indonesia kedepannya, karena akan mampu meminimalisir adanya shock perekonomian dan berperan dalam rangka pemerataan ekonomi daerah tertinggal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun