Â
Joko Ade, No. 84
Negeri setengah tiang menantiku di balik bukit itu. Ia memesan kelaparan, bernyanyi kesakitan dan meraung kebodohan. Parasnya memang hijau nan asri, pelangi di mataku pun kalah berseri saat ia menampakkan diri. Ya. Bukit hijau dengan serangkaian gunung yang menyangganya. Aku menunjuknya dengan jemariku sesaat sebelum kejemput dan kuhapus penderitaan anak-anak langit yang buta huruf itu.
Mengasihinya adalah impianku yang masih dalam genggaman tangan mungilku. Melukis kebodohan menjadi kecerdasan. Kegersangan ilmu pengetahuan adalah keniscayaan.
Aku ingin engkau semua berdiri tegak menjadi panji-panji Pertiwi. Biarlah aku yang memesan kelaparan itu, biarlah aku yang bernyanyi kesakitan itu. Namun, aku akan menyeru kepadamu semua, "Bertekadlah untuk menjadi manusia cerdas!"
Mataku terpejam, senyumku berkibar. Anak-anak langit adalah kader pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan. Meski merunduk di balik dedaunan, mereka tetap bertahan. Buaian penguasa begitu menggiurkan, hingga anak-anak langit pun berparas kebosanan. Anomali kebijakan negeri penuh pembiusan, menjadikan mereka dalam keterlantaran.Â
"Apakah Pancasila itu sakti?" tanya anak-anak langit kepadaku.
Aku tertegun dan kujawab pertanyaan itu, "Ya, Pancasila itu sakti. Namun, sekarang Pancasila sakit." Dalam dekapan langit biru di pagi itu, lihatlah itu, ada cahaya di ujung puncak gunung itu. Kita akan bergegas untuk mendakinya untuk sebuah harapan masa depan baru. Tentu...dengan kobaran semangat yang menderu debu.
Â
Â
NB :