Resesi ekonomi global, sebuah perkiraan pahit tahun depan telah menunjukkan tanda-tandanya. Dalam frame berita yang berseliweran, tanda datangnya paceklik global itu kian nyata. Teranyar, Sri Lanka yang merupakan negara dengan pariwisata andalannya, kini tumbang dan menyisakan secarik derita dan tangis rakyatnya akibat menderita kekurangan pangan.
Hal yang sama terlihat dari berada media sosial tentang situasi di Amerika Serikat. Antrean panjang mengular terjadi di banyak tempat sebagai efek tergerusnya daya beli masyarakat akibat inflasi yang menyentuh dua digit besarnya, sempat mencapai 9,1 persen. Bahan makanan yang ada dipastikan mencekik leher. Situasi itu juga diperparah oleh gangguan rantai pasok energi akibat perang Rusia dan Ukraina yang masih berkecamuk.
Pun, Jepang juga menunjukkan tanda-tanda yang sama. Negara yang digadang-gadang memiliki kecanggihan teknologinya ini kini penuh kecemasan. Kebijakan berhemat listrik membuat pemadaman bergilir dilakukan. Apalah arti sebuah kecanggihan teknologi yang dimiliki, bila energi sebagai pembangkitnya terancam mati. Jepang kini mulai menyalakan sirine keras-keras agar setiap warganya hemat energi, terutama bagi perusahaan-perusahaan seiring harga gas global yang harganya melangit.
Jepang kini bersiap menuju situasi krisis energi. Terlebih akan datangnya musim dingin, negara Sakura ini mengerahkan perusahaan-perusahaan yang ada untuk menimbun stok energi listrik agar tetap mampu menghidupi jutaan penduduknya.
Pernyataan memukau
Dengan melihat situasi ketiga negara tersebut, Indonesia perlu tetap waspada. Apalagi, narasi yang dilantunkan oleh Bank Dunia dan juga International Monetary Fund (IMF) akhir-akhir ini sungguh menyilaukan. Bank Dunia menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia paling tahan banting di tengah gejolak global. Lalu IMF menambahkan pernyataan tersebut, bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih aman dari krisis.
Sebuah negara dalam tataran yang paling mikro tidaklah lebih sebuah keluarga. Ketika keluarga itu masih mampu belanja pangan, sandang, dan papan. Boleh jadi ada dua kemungkinan. Pertama karena memang kondisi keuangannya baik dan tahan. Atau kemungkinan kedua, karena mengandalkan galih lubang, untuk menutup lubang.
Kita ketahui secara gamblang, bahwa utang Indonesia baru-baru ini berada pada posisi mengkhawatirkan. Data kementerian keuangan menyebut bahwa realisasi utang Indonesia per 31 Mei 2022 mencapai Rp. 7.002,24 triliun. Posisi ini tercatat naik sebesar 9,1 persen jika dibandingkan posisi Mei 2021 yang mencapai Rp. 6.418,50 triliun. Meskipun secara aturan, realisasi utang tersebut berkontribusi 38,88 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), namun efek krisis energi dan gangguan rantai yang terjadi di negara lain terbukti menjalar dan memicu guncangan-guncangan kecil ekonomi dalam negeri. Bila guncangan-guncangan itu disepelekan, lambat laun takutnya menjadi guncangan besar yang siap melumpuhkan fondasi perekonomian yang ada.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa inflasi yang menjemput Indonesia sejak Januari hingga Juni 2022 berada pada kisaran 0,53 persen. Walapun dinilai masih terkendali, beberapa waktu ini gejolak harga dan kelangkaan komoditas-komoditas krusial malah terjadi dan sempat membuat kebingungan di masyarakat, sebagai contoh minyak goreng.
Tidak bisa diterima akal memang, di tengah produksi kelapa sawit yang melimpah, harga minyak goreng justru meroket di tingkat konsumen. Kemampuan mengurus hal yang melimpah saja kelimpungan. Lantas bagaimana bisa situasinya benar-benar kekurangan?
Di tengah prediksi-prediksi yang belum menjadi kenyataan, memasang kewaspadaan sangat diperlukan. Selain mengantisipasi kekecewaan terhadap kenyataan apapun yang terjadi, setidaknya kita dapat mengatur fokus pada hal-hal yang substansial.