Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama FEATURED

Mengapa Lahan Sawah Tergerus dan Petani Rugi Terus?

1 Maret 2022   14:06 Diperbarui: 17 Juni 2022   06:24 1429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu, saya menikmati liburan akhir pekan mengelilingi desa. Seperti desa pada umumnya, sepanjang perjalanan mata saya dihempas kesejukan pemandangan sawah-sawah dan pepohonan yang hijau diselimuti embun pagi.

Tiba-tiba, saya melewati area persawahan yang tak lagi seperti sawah. Ia tertutup oleh urukan tanah yang rata dan posisinya menjadi lebih tinggi dari biasanya. Sejumlah bendera umbul-umbul berdiri tegak mengitari area sawah yang bernasib malang itu.

"Kalau ada umbul-umbul begini, nggak bakal lama bakalan jadi perumahan," gumam saya dalam hati.

Tak dapat dimungkiri, memang dalam beberapa tahun terakhir, pertanian semakin memiriskan. Menurut data yang saya baca dari Badan Pusat Statistik (BPS), luas lahan baku sawah terus mengalami penurunan. 

Pada tahun 2018 saja, luas baku sawah tinggal 7,1 juta hektare saja. Bila dibandingkan dengan tahun 2017, ada penurunan sebesar 0,65 juta hektare.

Penurunan lahan sawah ini tak ditampik oleh kementerian pertanian. Mereka juga menyebutkan, bahwa lahan sawah setiap tahunnya mengalami penyusutan hingga 650 ribu hektar. 

Baru-baru ini (10/2021), BPS juga menyebut bahwa potensi luas lahan panen menyusut sebesar 0,14 juta hektare jika dibandingkan tahun sebelumnya.

Sejumlah data dan fakta tersebut sekilas menunjukkan betapa menyedihkannya lapangan usaha pertanian kita, khususnya pertanian tanaman pangan. 

Sejalan dengan gencarnya pembangunan infrastruktur, lahan sawah tergusur oleh kerasnya beton. Belum lagi banyaknya lahan sawah yang tercaplok oleh pembangunan jalan dan perumahan sebagaimana sawah yang saya temui.

Di satu sisi, saya sendiri melihat adanya transformasi pada struktur kue ekonomi. Namun di sisi lain, saya melihat akan datangnya ancaman serius ketersediaan dan akses pangan nasional. 

Mengingat pula, profesi petani saat ini kurang menarik bagi banyak kalangan, terutama generasi muda. Dan pandangan negatif profesi ini juga diturunkan ke anak cucu sehingga motivasi untuk mencoba terjun ke pertanian pun sulit.

Di samping pandangan marginal terhadap profesi petani, gencarnya upaya alih fungsi lahan sawah juga membuat saya prihatin. Di mana umbul-umbul berdiri, di situ sebuah lahan sawah bakal tertutup oleh perumahan.

Memang banyak faktor yang menyebabkan seseorang petani merelakan diri menjual lahan sawahnya. Mulai dari keinginan sendiri mengubah nasib akibat jeratan ekonomi, hingga terpaksa akibat dilewati infrastruktur kepentingan negara. 

Tanpa disadari, dampak serius akan dialami negara ini 10 hingga 25 tahun ke depan. Populasi lahan sawah yang tergerus seirama dengan jumlah petani kan menyebabkan turunnya produksi pangan dari normalnya sebagai negara yang digadang-gadang berswasembada.

Di media sosial pun, suatu ketika saya terlibat diskusi terkait nasib pertanian ini. Tak selang beberapa lama, netizen yang saya ajak diskusi melontarkan opini miring. 

Ia mengatakan bahwa ke depan, negara ini tak akan cukup hanya mengimpor beras, jagung, dan kedelai, tetapi petaninya pun niscaya akan impor dari negara lain.

Ungkapan seperti itu sungguh menyayat hati. Di tengah kepayahan negara mengatasi pandemi Covid-19 dan ketidakpastian ekonomi dunia saat ini, lahan sawah sebagai tumpuan memproduksi pangan seakan tak lagi menjadi fokus perhatian pemerintah. Kalaupun masih, tampaknya kurang serius.

Bagi saya, dalam hal swasembada, negara ini masih tertatih-tatih mempertahankannya. Sebab, begitu banyaknya hasil riset terkait pertanian, hasilnya hanya terkurung di dalam ruang-ruang akademik semata. 

Sejumlah riset pertanian tak lebih dari sekadar meraih sebuah gelar, sedangkan implementasinya tidaklah mudah direalisasikan, apalagi untuk diterapkan secara nasional.

Mungkin, karena ukuran kasat mata kemajuan ekonomi adalah berjajarnya bangunan-bangunan tinggi, fokus pemerintah kita terperangkap olehnya. 

Ketidakhadiran negara dalam menjaga keberlanjutan aset pertanian membuat pengembang dan pengusaha mengganas dalam mencaplok luasan-luasan lahan sawah tanpa henti. Lantas, apalah arti sebuah kemajuan ekonomi bila pertanian sebagai sumber pangan kita semakin keropos?

Rugi Terus

Dalam beberapa tahun terakhir, pertanian kita berjalan di tempat. Bahkan, petani sebagai aktor utama input lapangan usaha pertanian terus merugi. Nasib mereka di ambang kritis karena negara memberi sentuhan kebijakan yang membingungkan.

Di kala produktivitas lagi bagus-bagusnya, aktivitas panen di sejumlah wilayah dalam euforia, negara malah memberi sentuhan kebijakan impor pangan sehingga petani pun gigit jari. 

Ketika harga pangan mencekik akibat produksi turun atau tak mampu memenuhi kebutuhan, negara malah memberi sentuhan usang berupa operasi pasar tanpa mengecek rantai distribusi pangan. Sungguh membingungkan bukan?

Dalam setahun terakhir, Nilai Tukar Pertani (NTP) nasional rata-rata naik tipis. Terakhir, NTP yang dirilis BPS pada Februari 2022 lalu sebesar 108,83 poin. Kendati mengalami kenaikan sebesar 0,15 persen poin dibanding bulan sebelumnya, namun perbedaan antara Indeks yang diterima (It) dan Indeks yang dibayar (Ib) petani tidak jauh berbeda.

Sebagai indikator daya tukar (term of trade) produk pertanian terhadap barang dan jasa biaya produksi, angka sebesar itu sekilas terlihat petani dari sisi biaya produksi dan apa yang mereka dapatkan: impas. Padahal, NTP ini tidak mencakup barang dan jasa untuk kebutuhan sehari-hari petani. Jadi wajar bila petani kita saat ini di ujung tanduk.

Terus meruginya petani lebih lanjut saya buktikan sewaktu menanyai seorang petani yang akan menjual lahan sawahnya kepada pengembang perumahan. Motif yang mendorongnya sampai menjual lahan sawahnya adalah akibat lilitan utang. 

Di samping menanjaknya biaya produksi lahan dan kebutuhan lain, si petani tersebut juga memiliki tanggungan utang dengan bunga yang terus membengkak. Menjual lahan sawah mau tak mau menjadi pilihan terakhir si petani.

Fenomena ini sekaligus mengakhiri alur pikiran saya dalam perjalanan mengelilingi desa tempat saya tinggal. Betapa ancaman krisis pangan akibat tergerusnya lahan sawah kita ke depan demikian nyata. 

Akankah pemerintah kita terus lelap dalam iming-iming industrialisasi dan modernisasi? Sampai-sampai tak sadar bahwa kelak lahan sawah hanya tinggal istilah dan cerita. 

Apa mungkin perlu saya tegaskan lagi pesan sejarah? Bahwa negara ini pernah menyuapi secuplik negara Afrika dan membeli pesawat dengan berton-ton beras.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun