Harga garam anjlok di tengah tingginya permintaan industri. Bila tahun lalu, harga garam per kilogram masih sekitar 1.000 -- 1.500 rupiah, tahun ini turun drastis menjadi 200-300 rupiah per kilogram.
Fenomena ini sepertinya bukan karena mekanisme ketidakseimbangan antara demand and supply (kebutuhan dan produksi) saja. Pasalnya, kejadian ini terus terulang setiap kali petambak garam tengah menikmati euforia panen. Asinnya garam justru terasa pahit bagi mereka mengingat panjangnya proses menghasilkan garam. Kapan penderitaan petambak garam lokal dapat berakhir?
Sejak 2017, pemerintah telah menargetkan Indonesia berswasembada garam pada tahun 2020. Artinya, Indonesia tak lagi tergantung pada garam impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Kebutuhan garam dalam negeri setiap tahunnya mencapai 4,2 juta ton, yang terdiri atas kebutuhan garam konsumsi dan untuk keperluan industri. Untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi, biasanya berasal dari produksi dalam negeri. Tetapi, garam untuk industri masih tergantung dari impor.
Produksi garam lokal tahun ini tercatat mencapai 1,1 juta ton. Kendati demikian, ternyata kualitasnya tidak sesuai standar yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 88 tahun 2014.
Produksi garam lokal yang dihasilkan petambak lokal selama ini hanya berkadar Natrium Klorida (NaCl) maksimal sebesar 84 persen. Padahal, sesuai Permenperin, untuk memenuhi kebutuhan industri, kandungan NaCl pada garam yang digunakan minimal sebesar 97 persen.
Petambak garam lokal selama ini agaknya belum tersentuh pengaplikasian hasil riset dan kajian terkait bagaimana teknik meningkatkan kadar NaCl dalam garam. Mereka masih berjibaku untuk memproduksi garam dengan kuantitas setinggi mungkin. Tak mengherankan jika kualitas garam yang dihasilkan malah terabaikan. Di samping itu, permasalahan besarnya biaya produksi yang belum dibarengi pendapatan layak turut membuat mereka gigit jari.
Penderitaan petambak garam lokal kian parah mengingat luas tambak terus mengalami penyusutan. Tak sedikit petambak garam lokal yang beralih usaha karena produktivitasnya semakin menurun.
Desakan impor
Ketidaksesuaian kadar NaCl menjadi penyebab utama rendahnya daya serap industri terhadap garam lokal. Ketidaksesuaian tersebut juga mengakibatkan daya tawar garam lokal terhadap industri kian pesimis. Hilirnya, harga garam lokal merosot tajam bersamaan dengan gempuran garam impor setiap tahunnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, Indonesia mengimpor 2,6 juta ton garam sepanjang 2019. Meski secara volume terjadi penurunan sebesar 7,14 persen, namun nilai impornya justru naik mencapai 5,4 persen dibanding tahun sebelumnya.