Telah munculnya menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud)Indonesia yang baru tentu membawa perubahan baru. Dunia pendidikan kita dalam waktu dekat akan bertransformasi besar-besaran, seiring dengan gaungan mendikbud baru. Menteri baru, rasa yang baru. Seluruh kurikulum akan diperbaiki dan dikaji ulang oleh pemerintah.
Adapun wacana yang menyolok perhatian kita adalah rencana penghapusan Ujian Nasional (UN). Sistem pendidikan yang digadang mendikbud terasa mendobrak segala stagnansi pendidikan nasional. Perubahan kurikulum tidak menentu sehingga kualitas pendidikan nasional tidak relevan untuk dibandingkan setiap periodenya. Setiap datang menteri pendidikan yang baru, para penggiat dan profesi di bidang pendidikan bersiap menarik napas, karena sistem dan kurikulum pendidikan pasti berubah sesuai keinginan.
Kalau dipikir, belum ada arah yang jelas target yang akan dicapai pendidikan kita. Tradisi akademis hanya berkutat pada cara mengajar, mempertanggungjawabkan administrasi dan pengadaan, hingga bagaimana mengontrol para siswa selama berada di sekolah.Â
Tradisi itu belum menyasar sedikit visioner, bagaimana melahirkan lulusan-lulusan yang bisa berkarya dan mengambil peran dan fungsi di masyarakat. Belum juga menjangkau harapan siswa bahwa setelah ia lulus, ia tak bingung-bingung mencari pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya.Â
Sistem pendidikan yang direncanakan oleh mendikbud terbaru agaknya menjadi jawaban permasalahan ini. Dengan metode linkage dengan sektor ekonomi yang ada, setiap alumni pendidikan tidak susah payah mencari pekerjaan. Karena karakteristik pendidikan yang disiapkan oleh institusi pendidikan telah mengakomodir kebutuhan kebutuhan lapangan kerja.
Kendati begitu, kita tetap harus memerhatikan dampak kebijakan yang diambil mendikbud. Sebab, yang secara nyata bakal kena getahnya adalah lembaga-lembaga bimbingan belajar (bimbel). Mengapa? Sebab pemerintah saat ini telah mengocok ulang aspek pendanaan di bidang pendidikan yang menurut Undang-Undang Dasar sebesar 20 persen.
Ketika institusi pendidikan formal hanya sebagai fasilitator pendidikan siswa tanpa berperan sebagai tutor, pembimbing, dan motivator, maka institusi pendidikan itu dapat dikatakan kalah telak oleh lembaga-lembaga bimbingan belajar. Pemanfaatan institusi pendidikan formal agaknya belum maksimal dan berkualitas. Tak seperti lembaga bimbel yang memiliki program khusus membimbing siswa dengan menawarkan beragam bentuk risiko dan bonus. Risiko dan bonus itulah yang selama ini menjadi daya tarik promosi lembaga bimbel di Indonesia, misalkan gagal masuk SBMPTN, uang kembali 100 persen dan sejenisnya.
Namun, naasnya jika program canangan pemerintah di bidang pendidikan telah dieksekusi, akan banyak lembaga bimbel yang terancam gulung tikar. Minimal income mereka sedikit berkurang, atau sejumlah layanan jasa pendidikan yang tidak relevan sehingga sedikit terpangkas.
Ironi dunia pendidikan Indonesia ini masih berlangsung. Stagnansi kualitas pendidikan nasional kian terlihat. Malah boleh dibilang cenderung menurun. Tidak bakunya kurikulum pendidikan menyebabkan relevansi literasi penunjang pendidikan. Gamblang saja kita sebutkan, buku mata pelajaran untuk angkatan yang menerapkan kurikulum 2013 berbeda dengan angkatan yang mengikuti kurikulum KTSP, begitu pula dengan buku-buku pelajaran siswa yang angkatannya mengikuti kurikulum KBK.
Alih-alih terus meningkatkan kualitas literatur pendidikan, malah terdapat beragam jenis buku-buku, yang jujur saja, membuat sebagian siswa dan orangtuanya kebingungan.
Konsep panduan siswa pada lembaga bimbel juga berbeda lagi. Malah setiap lembaga bimbel memiliki ciri dan kelebihan masing-masing demi mengantarkan siswa bimbingannya lolos dan meraih capain tertentu.