Pembangunan sistem pelayanan publik terpadu memang penting. Apalagi, di era kemajuan teknologi dan informasi seperti sekarang ini. Pelayanan publik dihadapkan pada soal kecepatan pelayanan, kenyamana pelayanan, kemudahan pelayanan serta kemurahan pelayanan. Pelayanan publik tetap menjadi sorotan utama dalam mengukur kinerja pemerintahan. Maka sudah sewajarnya bila pemerintahan dapat dikatakan baik dan memuaskan apabila pelayanan publiknya juga baik dan memuaskan.
Teknologi hadir di tengah pemerintah sebagai alat untuk mempermudah pelayanan publik. Ditambah dengan urgensi era interaksi sosial yang begitu dibutuhkan, teknologi mendorong pemerintah membuat berbagai sistem berbasis teknologi. Perencanaan sistem pelayanan publik berbasis teknologi dianggap sebagai solusi untuk mempermudah pelayanan publik. Tentu, dalam membangunnya pemerintah nampaknya menyusun strategi yang cukup lama, dan…biaya untuk penciptaan sistem tersebut sangatlah mahal.
Namun, realitasnya sistem pelayanan publik berbasis teknologi justru menambah masalah. Prosedur pelayanan publik itu menimbulkan kesulitan bagi masyarakat, apalagi bagi mereka yang pendidikannya kurang. Coba kita amati saja bagaimana strategi pemerintah membangun sistem Elektronik KTP atau E-KTP saat ini. Kelihatannya sih memang sophisticated sekali, tetapi algoritma sistemnya masih sangat keropos dan terbilang buru-buru. Alih-alih menuju negara yang berteknologi supaya sejajar dengan negara maju, policy pemerintah dalam membangun sistem E-KTP terlalu prematur. Entah mengapa demikian banyak kebijakan yang ‘melompat-lompat’ demi menyejajarkan diri di tengah negara-negara yang lain.
Kita bredeli dari sistem pembuatan E-KTP sesuai instruksi Permendagri Nomor 8 Tahun 2016. Untuk membuat E-KTP, kata Permen itu pertama adalah melakukan perekaman dan foto dengan syarat membawa Kartu Keluarga (KK) saja. Katanya sih, pemerintah akan membangun sebuah database KK yang unik sebagai dasar pembuatan E-KTP. Otomatis, bagi masyarakat yang merekam di luar domisili tentu tidak terdaftar di dalam database sebab ia merupakan anggota keluarga di domisili lain (KK asal daerah).
Harusnya kan tidak demikian? Ini mungkin terjadi karena sistem database yang dibuat itu terklasifikasi menurut domisili KK. Bukankah justru menyulitkan bagi mereka yang domisilinya berpindah-pindah bila demikian?. Ini bertentangan dengan isi pasal dalam Permendagri pasal perekaman di luar domisili.
Rumit bukan? Bila perekaman hanya dapat dilakukan di domisili saja, lantas mengapa ada pasal perekaman di luar domisili begitu mudah?. Dari sini saja, kita bisa menyimpulkan begitu keroposnya sistem pelayanan publik berbasis teknologi.
Seharusnya, penyusunan sistem itu dari bagian terkecil dahulu. Pemerintah terlalu bersemangat sih membuat E-KTP. Bukankah lebih indah dan terformat baik, bila pertama pemerintah menerapkan Elektronik Akta Kelahiran atau E-AK. Mungkin, di beberapa daerah telah mengimplementasikan, tetapi kan belum secara nasional. Bila E-AK sudah masuk dalam database induk. Tugas berikutnya adalah memverifikasi data E-AK. Sebab, masih banyak tuh masyarakat yang namanya tidak sesuai antara satu dokumen dengan dokumen kependudukan dan pendidikan, misalnya nama Akta Kelahiran dengan nama Ijazah salah atau tidak pas. Nah, kasus dasar seperti ini kan bisa diperbaiki terlebih dahulu. Jangan E-KTP dulu lah, terlalu melompat kebijakannya.
Setelah main database E-AK termanage dengan baik. Selanjutnya adalah menciptakan database Elektronik Kartu Keluarga atau E-KK. E-KK ini juga berlakunya di beberapa daerah saja, entah sebagai pilot kebijakan entah bukan. Harusnya kan E-KK diberlakukan secara nasional setelah E-AK. Semua data KK disimpan dan dimanage sebagai database nasional. Semuanya, tidak mempertimbangkan daerah manapun, intinya diakumulasi semua data KK. Setelah semua terkumpul, baru dilakukan updating database, misalnya mengkorfimasi jumlah anggota keluarga.
Disinilah sebenarnya tidak perlu surat keterangan pindah segala dalam mengurus E-KTP. Sebab, pada waktu database terintegrasi dengan database non-elektronik KK, itu tinggal memindah-mindah data individu saja. Oh, pak A adalah KK pak B, tetapi pindah daerah dari kota X ke kota Y, tinggal updating saja. Karena database induknya sudah tersedia. Kalau mengurus E-KTP masih meributkan surat pindah, itu karena pembuatan sistem E-KTP masih keropos. KTP-nya berbasis elektronik, sementara Akta Kelahiran dan KK masih non-elektronik. Pemerintah tak perlu buru-buru, supaya pembentukan database dan sistem pelayanan publik itu berlangsung kronologis dan jelas. Tidak rumit!.
Baru setelah database E-KK terbentuk sekaligus selesai melakukan pemutakhiran data KK. Setiap daerah kan bisa mengakses data KK dimana saja dan kapan saja. Perekaman E-KTP tak perlu lagi surat pindah ini dan itu.
Setidaknya inilah sebuah masukan bagi pemerintah. Tolonglah hadirkan teknologi itu sebagai alat mempermudah pelayanan publik. Kalau mau semuanya berbasis teknologi, yang perlu dibangun lah sistem yang beralgoritma runtut dan jelas arahnya, dari elemen terkecil diubah berbasis terknologi terlebih dahulu baru diintegrasikan dengan yang lain. Jangan malah terlihat “IT banget negara ini” tetapi realitasnya seperti “Sok IT” yang menunjukkan kamuflase kebijakan belaka.