Setiap negara pastinya memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Jika suatu negara mampu memproduksi komoditas tertentu, maka di satu sisi negara tersebut kurang atau bahkan tidak mampu untuk memproduksi komoditas yang lain. Memang, pada dasarnya hal yang demikian sangat tergantung pada kondisi geografis dan potensi Sumber Daya Alam (SDA) masing -masing.
Sampai saat ini, untuk mampu menyimpulkan bahwa suatu negara dikatakan maju dan sejahtera, biasanya banyak pihak yang masih berpatokan pada seberapa besar pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dengan dalih keterbandingan dengan seluruh negara di dunia, suatu negara dikatakan diklasifikasikan dalam negara ekonomi berkembang hingga maju juga berdasarkan pertumbuhan ekonomi.
Indikator ekonomi berupa pertumbuhan ekonomi memang dahulu masih memiliki fungsi memperlihatkan tingkat perekonomian suatu negara dibangdingkan dengan negara lain secara riil. Tetapi, dengan adanya kebijakan perekonomian dunia yang semakin terbuka sehingga masing-masing negara memiliki peluang besar untuk saling memengaruhi satu dengan yang lain. Keterbukaan mengakibatkan terbuka lebarnya kran investasi dari luar negeri ke dalam negeri secara cepat sehingga perekonomian suatu negara akan berputar.
Masalahnya adalah, dalam pengkalkulasian pertumbuhan ekonomi terdapat komponen Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang didalamnya terdapat pendapatan milik warga asing yang berada dan berusaha di Indonesia. Artinya, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia terus membaik dan dalam beberapa tahun bernilai positif belum tentu menjamin bahwa perekonomian nasional sendiri dapat dikatakan meningkat karena bisa saja komponen yang memberikan share (sumbangan) terbesar terhadap kue ekonomi (PDB) justru berasal dari Perusahaan Modal Asing (PMA) bukan dari Perusahaan Modal Dalam Negeri (PMDN). Pertumbuhan ekonomi positif (baik), tetapi masih banyak terdapat kemiskinan dan pengangguran. Inilah yang menjadi alasan mengapa meskipun pertumbuhan ekonomi positif kok malah masih susah memberantas kemiskinan dan kok jumlah pengangguran masih saja tinggi. Hal ini kedepannya juga menjadi pembahasan yang serius, apalagi di tahun 2015 nanti akan ada "penjajah" baru yang melanda Indonesia, yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sementara, banyak sektor ekonomi Indonesia yang sebetulnya belum siap dan belum kuat, misalnya saja adalah industri tusuk gigi.
Diketahui, Indonesia sangat kaya dengan jenis bambunya, ada sekitar 165 hingga 175 jenis bambu dari sekitar 2040-an jenis bambu yang terdapat di seluruh dunia. Artinya, Indonesia sangat potensial sekali jika mengembangkan industri yang berbahan baku bambu, terutama untuk konstruksi bangunan dimana bambu memiliki kekuatan hingga bertahun-tahun tahan terhadap iklim dan cuaca. Hal ini juga memperlihatkan bahwa sebenarnya, Indonesia ini hanya kurang semangat saja dalam menggarap dan mengeksplorasi SDA nya sendiri.
Pada tanggal 1 Mei 2014 lalu, banyak buruh yang berdemo di ibukota karena bahan baku tusuk gigi Indonesia masih diimpor dari China. Fenomena demonstrasi sudah sering kita dengar bahkan hampir bosan untuk kita simak. Namun, inilah realita yang menusuk bagi perekonomian Indonesia, sebab dalam kenyataannya jumlah populasi bambu di Indonesia dan jenisnya sangatlah banyak. Apakah karena China disebut sebagai negeri tirai bambu sehingga Indonesia harus mengimpor bahan baku dari sana ?
Ini memerlukan jawaban lugas dan langkah konkret kedepannya. Karena desakan impor Indonesia tidak hanya dari satu sektor saja, tetapi dari sektor lain juga sangatlah besar, misalnya impor beras hingga impor kapas yang hingga hampir 100%. Hasil Sensus Tani (ST) tahun 2003 saja, jumlah populasi bambu di Indonesia adalah sebesar 37,93 juta rumpun dengan rata-rata kepemilikan per rumah tangga pembudidaya bambu adalah 8 rumpun. Jika pun di tahun 2014 jumlahnya turun, rasanya tidak mungkin karena Indonesia sampai tahun 2014 ini adalah negara penghasil bambu nomor 2 dunia (ekonomi.metrotvnews.com, 2014). Tetapi anehnya, Indonesia masih mengimpor 5 ton serat bambu per tahun (ekonomi.metrotvnews.com, 2014). Inilah mirisnya Indonesia, meskipun sebagai penghasil bambu dunia kedua setelah China, namun tetap saja seolah menggantungkan kebutuhan bahan baku bambu ke China. Padahal, daya saing bambu nasional sangat mampu bertanding dengan bambu dari China.
Disinilah letak Indonesia yang seakan "senang"Â jika terus mengimpor. Meskipun tusuk gigi menusuk jantung ekonomi, tampaknya Indonesia merasa baik-baik saja. Inilah mengapa kedepannya, pemerintah seyogyanya memfokuskan untuk menjadikan bambu sebagai komoditas utama, apalagi produk berbahan bambu dalam negeri sudah mampu bersaing di luar negeri, misalnya kaus kaki berbahan serat bambu (ekonomi.metrotvnews.com, 2014).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H