Kita Lanjukan !, pembahasan mengenai percekcokan peneliti lembaga survei quick count. Memang masyarakat mungkin sudah hari-hari ini mematikan televisi dan radionya lantaran hasil quick count sama-sama egoisnya, sebab adanya perbedaan sampai-sampai taruhan siapa yang hasilnya tepat dengan KPU maka dia tetap eksis sebagai lembaga survei politik Indonesia sekaligus mendapatkan jebatan kredibel. Sementara yang hasilnya tidak sesuai, maka harus gulung tikar sebagai lembaga survei politik.
Coba kita amati dengan seksama beberapa pernyataan dari lembaga survei terkait metode samplingnya berikut.
"Survei saya berdasarkan teori dan kaidah ilmiah. Jumlah sampel kami 1.100 sampai 1.250 dan menyebar secara proporsional sampai di 500 desa. Itu artinya sudah benar," (Puskaptis, 10/7/2014).
"Jumlah sampel kami 2.000 TPS yang tersebar di 33 provinsi di seluruh Indonesia," (LSI, 9/7/2014).
“Tentu semakin banyak sampelnya, semakin tinggi tingkat akurasi yang didapat. Dengan 4.000 sampel, margin of error kami bisa ditekan di bawah 1%,” (SMRC, 10/7/2014).
Nah, masing-masing dari mereka menyatakan "saya yang paling benar".
Lalu terakhir pemberitaan pers menyoroti pernyataan berikut
"Kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga survei yang ada di sini, saya percaya KPU yang salah dan hasil hitung cepat kami tidak salah," (Indikator Politik Indonesia, 10/7/2014).
Waduh, kok estimator mampu mengalahkan parameter, ya ???...ini apa tidak salah ucap atau bagaimana. Sebab yang namanya ereor/galat pada survei itu sangat besar dikarenakan metode sampling yang salah/jelek. Sementara itu, kalau KPU, itu populasi jadi yang namanya populasi itu tidak mengandung kesalahan/galat sampling tetapi banyak mengandung kesalahan non-sampling/non-sampling eror, seperti yang sudah saya terangkan pada tulisan ini. KPU itu populasi jadi sensus, sehingga jika "mungkin" sekali lagi, "mungkin" terjadi perbedaan dengan lembaga survei, jangan salahkan metode samplingnya, tetapi yang mengandung kesalahan adalah pada pelaku perhitungan atau (human eror) akibat manajemen yang kurang baik. Sekali lagi, sensus dan survei ada kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sudah saya terangkan pada tulisan saya sebelumnya disini.
Bukan lebih mempercayai KPU, bukan. Tetapi kalau masalah metodologi, sensus lebih terjamin daripada survei yang hanya mengambil sampel (yang sebenarnya telah saya gugat pada tulisan saya sebab kurang memenuhi keterwakilan). Yang jelas, estimator tidak akan bisa melumpuhkan parameter. Justru patokan salah tidaknya estimator itulah parameter. Sebab jika estimator terlalu menyimpang jauh dari parameter, maka sampling tersebut dikatakan BIAS.
Oleh karena itu, tidak bisa kita mengklaim KPU secara metodologi sebab ia menerapkan sensus, yang kita sebaiknya kritisi dan kita awasi bersama adalah pembahasan apakah tenaga penghitung suara KPU tidak salah ? sebab yang namanya human eror (kesalahan manusia) bisa saja terjadi, terutama di sensus sebab kurang intensifnya pelatihan dan manajemen koordinasi pelaku penghitungan.
Menyalahkan metodologi KPU, itu yang kurang pas. Sama halnya peneliti skala mikro menyalahkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menurut saya. Anda Tidak Percaya KPU ? Anda Tidak Percaya BPS ? memang Berapa sih jumlah sampel Anda ???....