The Trolley Problem
Teori The Trolley Problem tentang filsafat moral seolah menggambarkan posisi pemerintah sekarang. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf moral British Phillipa Foot pada tahun 1967. Ada beberapa faktor yang mendasari seseorang untuk memutuskan kebijakan, seperti; utilitarian, moralitas, loyalitas, pengetahuan, dan intuisi.
Setiap keputusan akan menimbulkan risiko, tinggal bagaimana seseorang bisa minimalisir risiko dari keputusannya. Selain risiko minimal, kebijakan juga didasarkan pada keterikatan emosional pengambil keputusan. Risiko besar pun kadang diambil, asalkan tidak mengorbankan orang yang dicintai.
Dalam kasus acara yang digelar Rizieq Shihab, Anies Baswedan harus mengambil keputusan yang serba sulit. Seperti buah simalakama, popularitasnya dipertaruhkan dalam pengambilan kebijakan yang dilematis.Â
Pelarangan tegas terhadap acara pernikahan putri Rizieq Shihab akan menghilangkan kepercayaan pemilih muslim yang sebelumnya begitu fanatik mendukungnya. Sedangkan membiarkan dan "hanya" memberinya denda 50 juta juga menampar emosi seluruh rakyat Indonesia yang rela di-PHK, kehilangan pendapatan, jatuh miskin, demi menaati peraturan pemerintah untuk kebaikan bersama.
Industri hiburan berjatuhan karena sepinya pemasukan sponsor, seniman mengubur mimpinya tampil di panggung-panggung masyarakat, buruh-buruh menjadi pengangguran, sedangkan di televisi kita saksikan orang-orang bebas berkerumun tanpa menggunakan masker dan tertawa lepas tanpa merasakan keprihatinan saudaranya di daerah lain yang rela berbulan-bulan tanpa aktivitas (di rumah saja).
Pembagian masker secara gratis dianggap sebagai langkah "persetujuan" atas acara yang jelas-jelas melanggar aturan pemerintah. Denda 50 juta dianggap sebagai upaya bijak dari pemerintah untuk mengobati kekecewaan jutaan masyarakat di Indonesia. Pengambilan keputusan atas risiko dalam the trolley problem tampaknya kurang begitu bijak untuk saat ini. Demi tidak kehilangan popularitasnya sebagai tokoh yang banyak diidolakan muslim milenial, Anies Baswedan rela menjilat ludah sendiri atas pelanggaran aturan yang dibuatnya.
Untuk menutupi inkonsistennya peraturan pemerintah daerah, Anies Baswedan pun enggan menghadiri acara pernikahan putri Rizieq Shihab. Tapi agaknya otoritas pemerintah masih dianggap lembek menegakkan aturannya sendiri.Â
Pelonggaran terhadap basis umat muslim yang menghadiri acara Rizieq Shihab jangan digambarkan sebagai kekuatan muslim seluruh Indonesia, karena NU dan Muhammadiyah sebagai ormas terbesar di Indonesia mengkritik kegiatan tersebut. Semoga kasus ini menjadi pengalaman untuk lebih bijak lagi membuat aturan dan menegakkannya. Jangan sampai pelonggaran acara tertentu malah memantik lainnya untuk membuat acara serupa. Sehingga pelanggaran protokol kesehatan bisa dimaklumi, asalkan pelanggarnya dalam jumlah yang banyak.
Joko Yuliyanto
Penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis Buku dan Naskah Drama. Aktif menulis opini di media daring