Silakan dibilang tidak beriman, tidak beragama, atau tidak bertakbir sekali pun, nyatanya setan itu tidak ada. Kalau memang malas beribadah dan doyan bermaksiat itu karena orangnya sendiri, jangan lantas setan dijadikan alibi. Misalpun dipaksakan ada, setan itu ya kita sendiri yang memaknai sebagai perwujudan yang tidak baik.
Saya bukan jebolan HAFIZ INDONESIA di RCTI, jadi tidak begitu detail memahami makna setan yang kerap diucapkan dalam kitab suci. Bentuknya pun tidak pernah tau, lhawong ciri-cirinya saja tidak pernah begitu gamblang dijelaskan. Paling pol, setan itu yang dipahami dari fungsinya: mengganggu. Selebihnya hanyalah pengkiasan tokoh antagonis dalam perjalanan hidup manusia.
Sampai sekarang saya masih sukar membedakan iblis, setan, dan jin atau hantu. Ada yang pernah bilang iblis itu malaikat paling senior di antara malaikat. Ada juga yang pernah ceramah bahwa setan itu adalah perwujudan kita yang lalai kepada Tuhan. Ada juga yang berasumsi bahwa jin itu adalah manusia yang lupa berjasad. Belum lagi kalau bicara qodam, ruh jahat, siluman, dan macam sebagainya. Ribet kalau mau diteliti pakai metodologi dan analisis data primer maupun skunder.
Kadang sering dengar cerita pembagian jin yang baik dan yang jahat. Jin yang baik bisa dijadikan penuntun, sedangkan jin yang jahat sering menakuti dengan perwujudan yang aneh-aneh. Padahal tak pikir setan dan jin itu satu paket (ta'awudz) - sama-sama jahat, makanya butuh doa pelindung dari keduanya.
Belum lagi kalau ada yang kesurupan. Saking gak percayanya, kesurupan adalah bentuk eksistensi seseorang biar diperhatikan banyak orang. Jadi bisa aja mereka pura-pura kemasukan jin dan mengaku sebagai Mbah J*mbut penunggu pohon beringin.
Setan Lucu
Boleh saja dibantah argumen saya, lhawong ini cuma perenungan atas kegelisahan bertahun-tahun menjadi umat yang tidak pernah melihat kunti manjat pohon atau pocong main engklek di tengah malam. Pernah pas malam Jumat sengaja pergi sendiri ke kuburan cina belakang kampus UNS, gak pernah nemu cerita-cerita fiksi dari kawan-kawan yang katanya indigo itu.
Kalau dalam kajian filsafat itu kan pengetahuan didasarkan pada pengalaman. Bagaimana menyandarkan pada cerita horor sebangsa genderuwo, kalau bentuknya saja hanya diketahui dari layar TV yang sudah disetting sedemikian rupa oleh sutradara. Coba deh diperhatikan, kalau misalkan bentuk setan atau jin itu seperti pada film, bukannya itu lucu ya? Menjadi menakutkan kan karena efek sound yang lebay dan datangnya ujug-ujug. Kalau bisa dilihat secara normal, pocong, kuntilanak, genderuwo, tuyul, suster ngesot, itu lucu kok.
Bayangkan kalau kita dikejar pocong, kita lari 10 langkah, pasti pocong sudah megap-megap. Loncat-loncat diikat seluruh tubuhnya, hidungnya ditutup kapas, nafasnya lewat mulut. Belum lagi kalau pas loncat kecapekan, keringatan dan melunturkan make-up beliau yang serba putih bedak.
Bayangkan kalau tiba-tiba muncul kuntilanak di batang pohon. Wajahnya yang sering ditutupi rambut panjangnya karena malu punya wajah yang pas-pasan. Tidak pernah pakai sendal atau sepatu. Suka ketawa sendiri padahal tidak ada yang lucu. Masak takut sama setan yang sudah gila? Kalau memang ada, dia itu lucu, bukan serem.