Ketiga, Aktivis HAM khususnya aktivis 98 yang secara terang-terangan turut mengkampanyekan Jokowi dibandingkan Prabowo tahun lalu. Hal tersbut patut dimaklumi, mengingat Prabowo dicitrakan turut serta dalam kasus HAM 1998. Namun saat ini banyak aktivis HAM yang menyayangkan sikap Jokowi terkait usulan hingga disahkannya Omnibus Law. Bahkan Aktivis HAM, Natalius Pigai, menyatakan bahwa Omnibus Law sama halnya dengan Undang-Undang perbudakan di Amerika Serikat.
Keempat, Buruh. Bagaikan menjilat ludah sendiri, kaum buruh merasa dikhianati oleh janji manis Jokowi kepada buruh saat kampanye. Padahal dalam UU Cipta Kerja cukup dominan menyasar buruh sebagai pihak yang paling dirugikan. Sehingga menjadi alasan kuat banyak aksi mogok kerja para buruh dan demonstrasi yang diinisiasi oleh KSPI dan Serikat Buruh di pelbagai daerah.
Setahun berjalan, Jokowi kembali ditanyakan popularitasnya di tengah masyarakat. Sikap otoriter dan diktator hanya akan menambah gerah situasi politik dan keamanan negara. Saat pemerintah susah payah menghimbau warga di rumah saja untuk memutus rantai Covid 19, pemerintah dan DPR malah memantik api kemarahan rakyat dari pelbagai kalangan. Semua seakan tidak takut lagi terhadap penularan Corona, mereka lebih takut jengkal demi jengkal Ibu Pertiwi dikuasai asing dengan dalih menarik minat investor dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Bukan hanya Jokowi, tampaknya rakyat sudah cukup skeptis dengan dunia perpolitikan Indonesia yang isinya ambisi kekuasaan tanpa berpikir etika dan moral kebangsaan. Periode kedua Jokowi adalah masa kebebasan mengambil kebijakan tanpa kekhawatiran kehilangan image politik. Tak semerakyat dulu, masih adakah sisa popularitas Jokowi di mata rakyat?Â
Joko Yuliyanto
Penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis Buku dan Naskah. Aktif menulis opini di media masa. Bisa disapa lewat IG @joko_yuliyanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H