Malam ini imajinasiku mengembara, tidak tahu harus aku kemanakan pikir dan anganku. Hatiku berontak teriak. Menyuarakan kata-kata yang terselip dalam dada. Hanya mampu berdetak. Berjejal antara gundah dan gulana. Mengalir bersama darah hidupku. Bergerak bersama otot dan tulangku.Â
Mengendap di otak sadarku yang seharusnya berucap menjadi cakap disenandungkan oleh lorong-lorong rongga suaraku. Tetapi itu semua hanya imajinasi. Tuhan. Terimakasih telah memberikan warna dan rasa dalam hidupku. Merah, hitam, putih, kuning, hijau, biru, dan jingga. Ada rasa pahit, manis, asam, dan sepat.Â
Ada beberapa musim yang melanda kening hidupku. Hujan, kemarau, badai, salju. Semua itu harus ku lalui. Sedalam angan bungaku yang dulu sempat tumbuh di sela-sela jemariku sekarang harus aku lupakan. Selayaknya terbuang jauh oleh lemparan tangan dinginku. Berbalur darah menetes mengiringi jauhnya lemparan tanganku.Â
Darah itu bercecer di tepian tembok, daun reruputan dan tanah yang kering kerontang. Iya memang bunga itu terbuang jauh dari sela-sela jemariku tetapi apa mungin akar-akar ingkar terhadap tanah yang sempat memperkokoh hidupnya digenggamanku. Justru sekarang akar-akar itu menjalar menghisap sari-sari darahku mencengkeram otot dan tulangku menerobos ke dalam jantungku. Otakku tak kuasa meronta kesakitan akan akar yang memaksa mempererat di dalam jantungku.
Sedalam mana aku larut dalam senyummu, kau tenggelamkan rasa kau campur dengan kecemasan. Bukan karena tempat yang mempengaruhi tetapi memang ada setitik rasa manis dari senyum yang kau ajukan kepadaku. Sesekali kau lirik dengan curi-curi mengendap. Tanpa kau sadari aku juga tahu.Â
Sama halnya diriku, yang berharap lebih. Rasa ini tidak hanya indek atau ikon keutuhan hati tetapi juga sebagai simbol bahwa rasa hati kian menyatu dari membangun menjadi cinta. Larutku dalam larik-larik kalimat yang terucap dari bibir tipismu, merona merah membicarakan tentang kerinduan kepada seseorang. Tak lekang oleh waktu untuk menjadi penghalang antara renda-renda dan rindu. Serpihan hatiku kini sudah terkumpul. Saling melekat antara dinding-dinding penguat untuk menjadi kokoh karenamu.Â
Dulu yang sempat pecah menjadi kaca-kaca tajam. Siap untuk melukai siapapun yang ingin untuk bercermin didekatku. Tetapi kini semua sudah berbeda, menemukan waktu yang tepat untuk menjadika semuanya menjadi utuh. Iya itu kenapa aku sekarang mengagumimu dari jarak yang tidak dekat. Hanya  lewat do'a aku memetik kerinduan akan dirimu. Dihantarkan oleh larik-larik puisi.Â
Aku syairkan agar ruang dengarmu mendegarkan seisi hati, untuk seseorang yang menjadi pengagum do'aku. Semoga tuhan menganugrahkan cahaya akan puisi yang senantiasa aku lantunkan kepadanNya. Semua itu tiada yang tahu kecuali aku, dirimu dan Tuhan.
Joko Susilo
6 Februari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H