Mohon tunggu...
Joko Supriyono
Joko Supriyono Mohon Tunggu... -

Sekum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk, Alumni UGM.

Selanjutnya

Tutup

Money

Kelapa Sawit dan Ekonomi Indonesia (3): Deforestasi dan Keamanan Pangan Global

9 Mei 2014   14:45 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:41 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Deforestasiberbanding lurus dengan pembangunan. Pembangunan pertanian di berbagai negara Eropa serta di Amerika Serikat telah mengkonversi hutan dalam jumlah besar di masa lalu.

Di Eropa, sekitar 75% hutannya telah dikonversi menjadi kegunaan di luar kehutanan sejalan dengan pertambahan penduduk serta industrialisasi. Di Inggris, saat ini hutannya tinggal tersisa 11% (Oxley, 2010).

Di Amerika, setali tiga uang. Hutan telah berubah menjadi ladang penggembalaan dan pertanian yang mengambil separoh dari kawasan hutannya. Itulah mengapa, data tahun 2009 menunjukkan pertanian kedelai dunia telah memakai97,5 juta ha, pertanian kanola (rapeseed) menguasai lahan 31 juta ha, dan pertanian bunga matahari (sun flower) menggunakan lahan seluas 24 juta ha (Oil World Annual Report, 2010).

Ini semua adalah akibat deforestasi di masa lalu yang hingga sekarang masih terus berlangsung. Bandingkan dengan pertanian kelapa sawit yang hanya menggunakan lahan 12 juta ha. Tetapi yang 12 juta ha (5 % dari keseluruhan pertanian minyak nabati, atau kurang dari 1 % dari keseluruhan pertanian global) tersebut dikampanyekan sebagai penyebab deforestasi.

Deforestasi masih akan berlangsung mengingat permintaan pangan dunia terus meningkat dan harus diimbangi dengan peningkatan produksi. Sementara peningkatan produksi tidak cukup jika hanya dengan intensifikasi tanpa ekstensifikasi.

Sebagai contoh, untuk kasus minyak nabati, setiap tahun dibutuhkan penambahan 5 juta ton sebagai akibat pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita. Diperkirakan pada tahun 2020 penduduk dunia mencapai 8 milyar orang dan dibutuhkan minyak nabati melampaui 230 juta ton, atau peningkatan 50 % dari konsumsi tahun 2005.

Jika pemenuhan permintaan tersebut dibagi proporsional sesuai tingkat produktifitas dan pertumbuhannya, maka dibutuhkan ekspansi lahan untuk kedelai 6,5 juta ha; untuk kanola 14 juta ha; dan untuk bunga matahari dibutuhkan tambahan ekspansi 9 juta ha. Sedangkan untuk kelapa sawit 3,9 juta ha.

Kelapa sawit adalah tanaman yang tingkat produktifitasnya 6-10 kali lipat dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Sehingga jika ekspansi kelapa sawit harus dihentikan maka kebutuhan lahan untuk memenuhi tuntutan konsumsi menjadi ekstra28 juta ha.

Artinya, jika ekspansi sawit dihentikan dengan alasan mencegah deforestasi, maka laju deforestasi secara global justru akan makin tinggi kalau tidak ingin terjadi kekurangan pangan yang mengancam dunia (global food security).

Indonesia sendiri perlu membangun demi memenuhi kebutuhan pangan, lapangan pekerjaan, membangun kehidupan, dan kesejahteraan rakyatnya. Membangun berarti perlu ruang, dan ruang yang dipakai tidak ada pilihan lain kecuali mengonversi hutan secara terbatas dan terukur, serta bertanggung jawab tentunya.

Hasil sensus terbaru mengatakan bahwa dalam kurun 30 tahun penduduk Indonesia bertambah 34 juta orang. Untuk mengurus tambahan penduduk itu semua maka perlu pemerintahan. Tahun 2001 jumlah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia sebanyak 354, tapi saat ini jumlah Kabupaten telah bertambah dengan pesat, hingga mencapai 502.

Di mana mereka (ratusan kabupaten itu) melakukan kegiatan produksi dan membangun sarana prasarana pemerintahan dan perekonomian kalau tidak mengonversi hutan? Jelas bahwa deforestasi sama sekali tidak diharamkan, kecuali kalau Indonesia ingin tetap tinggal sebagai negara miskin dan tidak berkembang.

Singkatnya, Indonesia melakukan deforestasi karena alasan pembangunan dan memberikan ruang hidup bagi rakyatnya. Sedangkan Barat, masih melakukan deforestasi karena ‘peluang bisnis’ bagi kemakmuran rakyatnya. Dan negara-negara Barat itu telah menikmati hasil deforestasi mereka selama puluhan, bahkan sejak ratusan tahun lalu.

Negara-negara Barat kini telah menikmati kemakmuran, kenikmatan tehnologi, dan kehidupan yang lebih baik dengan terlebih dahulu melakukan deforestasi. Pembangunan yang mereka lakukan, serta kenikmatan atas kemakmuran ekonomi yang mereka rasakan saat ini telah lebih dulu menimbulkan emisi gas karbon yang menjadi pemicu perubahan iklim.

Lantas, mengapa Indonesia dan negara-negara lainnya yang diharuskan memikul akibat-akibat dari kemakmuran yang dinikmati negara-negara Barat itu? Mengapa kini sawit yang tiba-tiba dituduh sebagai penyebab utama deforestasi, dan karenanya harus dihentikan pengembangannya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun