Mohon tunggu...
Joko Supriyono
Joko Supriyono Mohon Tunggu... -

Sekum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk, Alumni UGM.

Selanjutnya

Tutup

Money

Kelapa Sawit dan Ekonomi Indonesia (5): Membangun Industri Sawit Berkelanjutan

8 September 2014   16:38 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:19 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak awal 1980-an market share minyak sawit dalam pasar minyak nabati dunia terus meningkat. Bahkan mulai tahun 2000-an minyak sawit telah menjadi market leader dalam bisnis minyak nabati dunia. Dan pada tahun 2009 minyak sawit telah menguasai 32% market share minyak nabati dunia.

Seiring dengan trend penggunaan energi terbarukan (khususnya yang berasal dari minyak nabati) di berbagai negara, minyak sawit tidak saja menjadi ancaman bagi minyak nabati non-sawit di Eropa dan Amerika, tetapi juga menjadi ancaman bagi minyak bumi (fossil fuel) di negara-negara maju.

Menyadari adanya ancaman dominasi pasar dari minyak sawit terhadap industri minyak nabati setempat, maka berbagai negara industri di Eropa menerapkan sejumlah kebijakan protektif. Laju perkembangan produksi dan ekspor produk minyak sawit (dan pertanian lainnya) terus dihambat dengan menerapkan berbagai standar baru.

Maka diterapkanlah regulasi yang mengharuskan adanya sertifikasi atas nama ramah lingkungan, tetapi sebenarnya adalah proteksi pasar dan industri dalam negeri atas nama sustainability.

Indonesia, khususnya melalui pemerintahan yang baru hasil Pilpres 2014, seharusnya mewaspadai fenomena proteksionisme itu. Sebagai negara berkembang yang hidupnya tergantung pada produk pertanian khususnya minyak sawit (yang sudah go global) dan mengandalkan industri kelapa sawit sebagai penyedia lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan melalui program Plasma, serta sebagai motor pembangunan wilayah pencermatan fenomena itu sudah menjadi keharusan.

Karena itulah, seharusnya, dalam konteks kewaspadaan itulah, pemerintahan yang baru seharusnya membuat kebijakan yang pro-job, pro-growth dan pro-poor serta secara percaya diri menyatakan penentangan atas segala bentuk proteksionisme.

Dengan berbagai perangkat perundangan di negara kita seyogyanya industri sawit Indonesia sudah bisa dianggap sustainable. Tidak hanya regulasi Pemerintah yang bersifat mengikat, praktik-praktik terbaik sebagai hasil riset dan inovasi sudah banyak diimplementasikan.

Untuk menyebut aspek regulasi, sudah ada begitu banyak undang-undang (UU) yang mengatur berbagai aspek perkebunan kelapa sawit. Berikut ini beberapa contoh UU itu :

1.UU Perkebunan (UU No 18/2004) yang mengatur aspek perijinan sampai dengan oprasional,

2.UU Kehutanan (UU No 41/1999) yang mengatur tata cara konversi hutan,

3.UU Tata Ruang (UU No 26/2007) yang mengatur penataan kawasan hutan dan ruang untuk berusaha,

4.UU Lingkungan Hidup (UU No 32/2009) yang sangat ketat mengatur (salah satunya) AMDAL,

5.UU Keaneka ragaman hayati untuk perlindungan habitat spesies penting dan terancam, dan sebagainya.

Sedangkan praktik-praktik terbaik yang sudah dilakukan misalnya : pemanfaatan limbah padat dan cair untuk mengurangi pemborosan energi, meningkatkan kesuburan tanah, penggunaan pupuk organik, tata kelola air, penggunaan tanaman bermanfaat, maupun pengembangan musuh alami untuk pengendalian hama dan penyakit sehingga meminimalkan penggunaan pestisida.

Belum lagi program sosial baik kepada karyawan maupun masyarakat sekitar perkebunan dalam berbagai bentuk antara lain jaminan dan pelayanan kesehatan, pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi lokal melalui berbagai kemitraan.

Untuk mempercepat penerapan (enforcement) terhadap semua peraturan tersebut pemerintah saat ini juga sedang menyusun Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sistem yang bersifatwajib (mandatory). Di samping dalam rangka pengawasan (dan pembinaan) atas pengelolaan perkebunan kelapa sawit dalam hal kepatuhan (compliance) terhadap regulasi, ISPO juga akan ditingkatkan statusnya menjadi sertifikasi sehingga bisa diakui oleh negara lain (buyer).

ISPO, juga seyogyanya menjadi langkah awal yang mudah jika perusahaan menginginkan sertifikasi lain, misalnya RSPO ataupun ICC karena mempunyai tujuan khusus berkaitan dengan bisnis perusahaan.

Indonesia seyogyanya percaya diri dan mampu mengatur pengelolaan industri sawitnya sendiri menuju sustainable palm oil yang sebenar-benarnya.Sehingga tidak perlu lagi harus diatur-atur oleh negara-negara lain baik secara langsung melalui LoI, maupun melalui tangan-tangan ajaib mereka yang bernama NGO. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun