Mohon tunggu...
Joko Rinanto
Joko Rinanto Mohon Tunggu... Penulis -

Menulislah, karena hidup adalah sebuah perjalanan pengaruh dan memengaruhi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Demam Korea Dimana-mana, Bingung Saya

30 September 2011   14:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:28 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belakangan ini budaya Korea atau K-Pop begitu mewabahnya. Dalam hal ini menurut saya K-Pop tidak hanya soal musik, tapi saya lebih mengasosiasikan K-Pop dengan semua budaya asal Korea. Budaya Korea yang sedang menjamur, bahkan cukup banyak menggeser budaya Western atau belakangan malah menyisihkan budaya Jepang atau J-Pop yang pernah pula menginfluense anak muda di negeri ini dan negara lainnya. Saya yang tidak ikut terpengaruhi sama sekali sampai dibuat bingung dengan fenomena K-Pop.

Sepertinya ini waktu bagi Korea menapaki masa emasnya. Bagaimana tidak, sebelum saya menyadari budaya Korea dalam hal ini Korea Selatan telah mewabah di seantero belahan dunia, saya menganggap Korea hanya sesuatu yang biasa-biasa saja. Bahkan ketika seminggu lebih perjalanan saya di Kota Seoul, saya hanya salut dengan tata kelola kotanya saja, tapi tidak pada kuliner, musik atau pun budaya fashion mereka.Tapi belakangan saya menyadari betapa budaya Korea telah menjadi fenomena tersendiri yang cukup mendominasi berbagai hal di dunia.

Saat ini apa coba yang bukan Korea? Mulai dari sekjen PBB dipegang oleh Ban Ki-Moon yang orang Korea. Icon Go Internasional pesepakbola dari Asia disandang oleh pemain Manchester United, Park Ji-Sung yang kelahiran Korea. Nonton acara hiburan musik di televisi, isinya kalau bukan boyband dan girlband Korea pasti penuh sama penampilan ABG-ABG yang hobi menyanyi lipsing dan nge-dance ala Korea. Giliran ada film di televisi, terpaksa ngalah daripada harus berebut remote sama ibu dan adek perempuan yang sedang keranjingan drama Korea. Browsing internet mau lihat-lihat berita wisata, isinya kalau bukan tentang kota Seoul paling nggak nyerempet tempat lain di Korea. Sedang asik nonton berita di tempat kosan, harus tunduk karena kalah voting sama teman-teman yang mau khataman DVD Endless Love yang dibintangi artis Korea. Jalan-jalan ke mall, isinya gak jauh sama penampilan anak ABG yang sedang kena wabah fashion Korea. Pokoknya, di mana-mana serba Korea, jadi bingung saya…

Sedahsyat itukah budaya Korea mempengaruhi budaya masyarakat Indonesia yang katanya punya banyak budaya? Saya jadi bertanya-tanya, katanya negara kita punya banyak budaya, tapi kenapa justru budaya lain yang selalu menjadi keseharian budaya kita? Apa karena negara ini telah terlalu kelewat jenuh dengan budaya korupsinya, seakan-akan ragam budaya kita lainnya tak muat lagi untuk dijadikan budaya keseharian? Apakah anak muda Indonesia sudah kehilangan jati dirinya sebagai sebuah bangsa? Entahlah…

Oke, daripada semakin bingung kenapa tidak ambil sisi positifnya saja! Jika budaya lain bisa kenapa budaya Indonesia tidak, bukan begitu saudara? Coba kita telaah lagi, kenapa Korea bisa mempengaruhi Indonesia tapi tidak sebaliknya? Padahal apa kalahnya Indonesia di hadapan Korea?

Masih ingat kan berita terbaru tentang dunia kuliner? Apa makanan terenak di dunia menurut survei CNN? Nomor satu tentunya dipegang rendang dan runner up-nya jatuh kepada Nasi Goreng yang keduanya dari Indonesia. Oleh sebab itu saya perlu merasa bangga, karena itu makanan keseharian saya. Di kantor, kalau saya minta dibelikan makan siang, OB saya bertanya, “Pakai apa mas?” Saya langsung lantang menjawab, “Pakai makanan paling enak sedunia! Rendang…!” Kalau ditanya saat mau makan malam bareng teman satu kosan, “Mau makan apa kita?” Saya bilang, “Makan makanan terenak kedua di dunia, Nasi Goreng!”

Menurut lidah saya, jika dibandingkan kimchi, gimbab, atau makanan Korea lainnya rendang dan nasi goreng punya rasa enak seperti bumi dan langit. Bahkan si Om Bama yang di elu-elukan sebagian orang Indonesia saja mengakuinya, “Nasi Goreng, Bakso, Emping, Kerupuk, Semuanya Enak!” Tapi kenapa belum ada tanda-tanda ekspansi I-Pop (Indonesian Pop)?

Mungkin saya terlalu subyektif dengan cita rasa kuliner ini, tapi saya cukup hafal dengan ekspresi beberapa rekan dari Indonesia dan negara jiran kita ketika harus menyantap hidangan Korea di negara asalnya. Kebanyakan mereka terpaksa merem melek karena harus menelan rasa hambar hidangan korea yang berisi kimchi yang cukup asam, dan sayur rebus serta tahu putih tanpa bumbu sedikitpun di dalamnya. Beberapa teman saya yang orang sunda bahkan sampai harus meratap tatkala menerima jatah sarapan sambil berucap, “Hayang karedok sareng nasi uduk urang mah, teu resep jeung kimbab urang mah…”(Saya mah mau karedok sama nasi uduk, gak suka sama kimbab saya mah…)

Tak jauh dengan kita, rekan yang dari Malaysia hanya makan nasi saja dari semua hidangan makan siang dan makan malam yang ada, tapi mereka lebih beruntung karena beberapa ada yang bawa mie instan dan yang lain bawa abon untuk lauk setiap harinya. Lalu bagaimana dengan saya? Ya, sebelas dua belas… Setiap hari saya berdoa agar panitia menyediakan kecap manis, tapi nyatanya saya hanya menemukan kecap asin saja untuk menemani hidangan yang ada. Jadi terpaksa makan nasi campur tahu rebus saja.

Belum lagi bayangan kata “Pork” yang selalu menghantui saat jam makan tiba. Ya, saya harus selalu me-request pada panitia agar diberikan menu vegetarian saja, supaya saya tidak menyantap makanan yang haram menurut keyakinan saya. Berdasarkan kejadian ini, maka saya memastikan saya lebih bangga makan hidangan terenak nomor satu sedunia daripada ikut mainstream kebanyakan anak muda yang sedang ber K-Pop ria. Lebih enak, lebih murah dan lebih terjamin halal tentunya.

Kemudian cerita lain dari perjalanan saya ke Korea dan budaya Korea adalah, GINGSENG! Jadi karena dunia mengenal Korea dengan julukan negeri gingseng, maka sepertinya tidak afdhol kalau pulang dari Korea tidak beli gingseng. Bahkan karena hampir semua orang Indonesia sudah mahfum dengan manfaat gingseng sebagai obat “kuat lelaki,” alhasil, teman-teman saya sampai memborong habis-habisan toko penjual gingseng di Dongdaemun untuk kerabat dan famili. Pokoknya sudah seperti orang pulang dari haji, selesai acara, belanja besar sebisanya…

Lalu bagaimana dengan saya? Pertama, saya tidak bawa banyak uang dan persediaan uang yang ada hanya untuk sehari-hari selama saya di Korea. Kedua, kalau soal “itu” saya harus katakan Indonesia juga punya banyak yang bisa dibanggakan. Kenapa saya harus menghamburkan uang demi sensasi gingseng? Toh kalau teman atau saudara-saudara saya mau, saya bisa buatkan herbal asli Indonesia yang bisa dibeli di pasar-pasar di Jakarta. Selain murah meriah, kalau diadu tak kalah tandingannya…

Saya sedang tidak sedang sesumbar, Indonesia juga punya gingseng Jawa (som jawa), ada pasak bumi, ada merica, dan lain sebagainya. Saya sudah coba racik dan saya berikan ke saudara saya yang berminat, ternyata hasilnya cess plengg!! Walau saya belum mencicipi karena belum cukup umur (curcol.com) tapi setidaknya saya bangga. Meskipun dengan ramuan lokal tapi saya bisa membuktikan potensinya tak kalah kalau hanya dibandingkan dengan gingseng. Bahkan kompeni Belanda pun sampai harus perang lawan bangsa Eropa lainnya hanya untuk menguasai rampah-rempah di Nusantara. Apa ini bukan luar biasa namanya? Sekali lagi mungkin ini terlalu subyektif, tapi bagi saya kalau bukan karena rempah-rempah asli Indonesia tentunya tidak akan tercipta makanan enak sedunia yang bernama RENDANG.

Lalu dari segi musik, saat ini mungkin K-Pop adalah rajanya. Tapi itu semua entah mengapa tidak bisa masuk di telinga saya. Mungkin saya sudah terlanjur suka dengan alat instrument musik dan kemeja flanel, jadi saya kurang suka dengan sesuatu yang berbau ngedance dan penampilan ala boyband. Di samping itu karena orang tua saya A.B.R.I alias Anak Buah Rhoma Irama, rasanya lirik soneta lebih mengena di telinga saya kalau sedang cari perenungan,hahaha… Tapi bagaimana pun memang si Raja Dangdut sedikit banyak telah mengambil peran bagi ekspansi musik dangdut ke penjuru dunia, bahkan orang Barat pun banyak yang mengakuinya. Dan, lagi-lagi ini mungkin subyektif. Tapi, mengapa tidak kita memandang ini sebagai suatu kelebihan untuk memulai I-Pop? Ya, kan?

Bagaimana dengan peran Indonesia di PBB? Sekarang kan eranya Korea, bukan begitu? Jawabnya, tentu tidak! Boleh saja Ban Ki-Moon yang asal Korea menjadi Sekretaris Jenderal United Nation. Tapi pada kenyataanya Ban Ki-Moon terpilih dari sistem yang di buat oleh orang Indonesia. Lho, kok bisa? Ya, pada awalnya DK PBB merasakan kekurangan yang mengiringi dalam proses pemilihan sekjen PBB selama beberapa periode. Hal ini dibaca oleh Nugroho Wisnumurti yang kala itu menjadi duta permanen Indonesia untuk PBB. Nah, beliau ini pada tahun 1996 silam yang memperbaharui sistem pemilihan sekjen PBB. Alhasil, karena konsep yang ia tawarkan diterima oleh Dewan Keamanan, maka sejak pemilihan sekjen PBB tahun 1997 dipakailah aturan main pemilihan sekjen PBB buatan anak negeri yang bernama Wisnumurti Guidelines. Ternyata I-Man, Ga kalah kan dibanding Ban Ki-Moon? Tapi anehnya kenapa pemilukada di Indonesia selalu kisruh ya? Apa para birokrat kita tidak belajar dari Wisnumurti?

Walau demikian, bagaimana pun ngototnya kita akan kebanggaan yang kita miliki, namun kenyataan sekarang adalah eranya K-Pop. Di satu sisi, apakah karena tidak PeDe dengan jati diri atau telah kehilangan jati diri? Tentunya rakyat se-Nusantara punya kesempatan yang sama dengan Korea dalam mempengaruhi dunia. Sekarang tinggal kesadaran dan kemauan saja untuk memulai dengan semua yang ada. Setidaknya walau saat ini saya masih bingung dengan demam K-Pop yang ada, tapi saya tidak kehilangan tekad mewujudkan Pasak Bumi dan Gingseng Jawa bisa diterima penduduk sedunia. Selebihnya terserah orang lain, mau mereka terkena demam akibat dijangkiti K-Pop atau resisten sama sekali, itu semua pilihan. Dan bagi saya sudah waktunya I-Pop dipromosikan…

Salam,

Joko Rinanto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun