[caption id="attachment_127041" align="alignleft" width="300" caption="Foto Bersama Peserta ODDI"][/caption] Hari itu adalah hari terakhir kami menuntaskan Orientasi Dasar-Dasar Islam (ODDI) yang wajib diikuti bagi seluruh mahasiswa baru di kampus kami, tanpa terkecuali. ODDI sebagai pekan orientasi bidang keagamaan untuk mahasiswa baru layaknya pesantren Ramadhan buat mahasiswa. Baik muda, tua, ataupun yang bekerja, selama mereka berstatus mahasiswa baru, semua harus mengikuti kegiatan mulai dari tadarus pagi, ceramah, dakwah lapangan menjelang buka, tarawih, sahur keliling, sampai penutupan setelah sholat subuh.
Tanpa terkecuali mahasiswa tua? Ya, ada dua kategori mahasiswa tua yang mengikuti ODDI, yang pertama adalah mereka yang berstatus mahasiswa tingkat akhir namun belum mengikuti ODDI. Mereka tidak akan dapat mengikuti seminar proposal skripsi jika belum mengikuti dan mendapatkan sertifikat ODDI, oleh karena itu mereka harus rela menjadi peserta bersama ribuan mahasiswa baru lainnya. Sedangkan yang kedua memang mahasiswa baru tetapi umur mereka tidak lagi muda dan rata-rata sudah bekerja. Saya menyebutnya mahasiswa PKS (Pulang Kerja Sekolah),hehe
Di kampus kami adanya mahasiswa yang telah bekerja ataupun berusia lebih dari dua puluh lima adalah sangat wajar. Kebanyakan mereka adalah lulusan dari sekolah menegah farmasi dan mahasiswa konversi dari jenjang D3. Umumnya mahasiswa yang telah bekerja adalah mahasiswa yang jam kuliahnya di sore hari. Lucunya, ODDI kali ini ada mahasiswa baru yang telah bekerja dan menjadi peserta, sementara usianya hanya terpaut satu tahun lebih muda dari ibu saya, luarr biasa!
ODDI hari ketiga adalah bagian tersulit bagi beberapa gelintir mahasiswa. Bagaimana tidak, ketika saya masih sebagai peserta ada satu teman sekelas saya yang memiliki anak dalam masa penyusuan dan dia harus tetap ikut bersama kami MABID di masjid AT-TIN sampai penutupan, itu jika tidak mau mengulang ODDI di tahun depan. Alhasil, pembantunya harus ikut serta menemani sang bayi yang ikut diboyong ke masjid AT-TIN bersama kami. Membawa bayi bersama kami untuk ber-MABID lebih sulit daripada harus mengatur izin kerja karena ODDI. Rekan satu kelas sampai harus bergotong-royong menggendong bayi, Unforgotten moment!
Dua tahun semenjak peristiwa tersebut giliran saya yang dipercaya menjadi panitia. Bagian terseru hari ketiga adalah dakwah lapangan dan sahur keliling. Penentuan area dakwah lapangan dan sahur keliling ditentukan pada hari kedua. Kali ini, kelompok yang saya dampingi harus berdakwah di Rumah Sakit Jiwa.
Peraturannya, setiap kelompok yang terdiri dari 8 sampai 10 orang diwajibkan membuat bingkisan untuk ta’jil dan berdakwah kepada 10 orang di lingkungan sekitar kampus. Setelah semua bingkisan yang berisi maknan berbuka telah siap, maka satu orang panitia dan satu orang fasilitator akan menemani perjalanan kelompok sampai menjelang waktu buka. Setelah itu setiap kelompok harus kembali ke kampus untuk buka bersama di kampus.
Menariknya kali ini adalah, kelompok yang saya temani mendapat jatah untuk berdakwah di Rumah Sakit Jiwa. Konsekuensinya adalah kami harus berbuka bersama orang-orang gila yang ada di Rumah Sakit tersebut. Inilah yang membuat saya menjadi sedikit Parno!
Setelah Sholat Ashar, seluruh kelompok berbaris di lapangan dengan membawa ta’jil dalam dus-dus. Setelah itu kami dilepas oleh Dekan untuk mulai berangkat ke tujuan masing-masing. Targetnya adalah setiap peserta harus mendakwahi 10 orang dan memberikan ta’jil kepada orang tersebut. Bukti bahwa peserta telah berdakwah adalah 10 tanda tangan dari orang yang telah didakwahi. Lalu bagaimana dengan kelompok yang saya dampingi harus meminta tandatangan dari orang gila?? Hahaha, itulah seninya acara ini!
Selama 1 jam kami mendakwahi orang-orang di luar Rumah Sakit Jiwa, kini tiba waktunya bagi kami dan satu kelompok lain untuk masuk ke dalam Rumah Sakit Jiwa. Rumah Sakit Jiwa yang kami datangi kebetulan berada dibawah naungan organisasi Muhammadiyah, jadi telah terbiasa menerima kedatangan mahasiswa dari acara ini.
Pertama Kalinya Berbuka Bersama Orang Sakit Jiwa
Gedung itu hanya terdiri dari dua lantai, dan letaknya tidak jauh dari mulut jalan di dekat terminal Klender. Ukurannya tidak terlalu besar untuk sebuah Rumah Sakit. Walaupun dekat dengan terminal dan pasar, namun jalan di depan Rumah Sakit Jiwa tidaklah terlalu ramai. Terlihat dari luar, gedung seperti tidak ada aktivitas di dalamnya. Ini karena pada umumnya aktivitas hanya dari keluarga dan sanak famili yang menjenguk para pasien. Tidak banyak pula kendaraan yang parkir di halamannya.
Setelah mendapat izin dari petugas Rumah Sakit, 20 orang peserta dan 4 panitia masuk ke dalam rumah sakit tepat pukul lima. Satu kelompok langsung diizinkan masuk ke dalam ruangan yang dibatasi oleh jeruji laiknya penjara. 10 orang sisanya berada di lobi untuk berbagi dan berdiskusi seputar Islam dengan beberapa petugas Rumah Sakit Jiwa. Materi yang didiskusikan adalah hasil ceramah dari para dosen dan ustadz yang didapat selama ODDI hari pertama dan kedua. Mulai dari Akidah, Ibadah sampai masalah muamalah menjadi bahan cuap-cuap para peserta.
Jeruji mulai dibuka, satu-persatu dari kami mulai memasuki ruangan yang di dalamnya terdapat ruangan petugas jaga, kemudian di depannya terdapat bangku panjang layaknya bangku tunggu di rumah sakit dan ada beberapa sel isolasi yang berisi orang gila yang dinyatakan “berbahaya.”
Ini pertama kalinya bagi saya berinteraksi dengan komunitas orang sakit jiwa. Jantung berdetak lebih kencang tentunya, karena bayangan yang ada dalam hati saya yang namanya orang gila adalah orang yang tidak dapat diprediksi dan harus diwaspadai tingkah lakunya. Terlebih waktu kecil saya pernah trauma dengan orang gila yang biasa mengganggu saya dan teman-teman saat saya akan berangkat mengaji di madrasah, dan ini membuat saya lebih tegang dari yang lainnya.
Saya tidak berani terlalu dekat dengan pasien yang ada di luar sel, dan hanya menyaksikan dari kejauhan satu atau dua orang peserta ODDI mengerubungi satu orang gila untuk diajak berbicara. Sementara kamera saku masih ada di kantong saya. Seharusnya saya mendokumentasikan kegiatan ini, karena memang itu tugas saya. Namun saya tidak diperkenankan oleh petugas untuk memotret. Petugas menjelaskan, walaupun pasien yang ada dalam ruangan bebas bermain bersama dan sepintas terlihat normal, namun ketika mereka terkejut dengan lampu blitz maka seketika mereka dapat mengamuk dengan sejadi-jadinya.
Beberapa lama berselang, ruangan semakin redup karena senja dan cahaya dalam ruangan tidak terlalu terang menyala. Seorang petugas mengajak saya untuk berjalan menuju lorong yang di samping kiri dan kanannya terdapat ruang isolasi. Satu sel hanya terdapat satu pasien yang benar-benar gila. Mereka dipisahkan dan tidak diizinkan bersosialisasi dengan pasien lainnya karena mereka cencerung bersifat agresif dan rentan untuk melukai pasien-pasien lainnya.
Di depan jeruji saya memandang kearah pasien sakit jiwa, seketika orang itu mulai berbicara dengan berbagai bahasa yang ilmiah. Dia memperkenalkan diri sebagai seorang insinyur dan ingin mengajak saya untuk melakukan penelitian. Kontan dalam hati saya berkata, “Dasar orang gila!”
Petugas kemudian menjelaskan, memang asalnya orang tersebut adalah orang yang cerdas dan menjadi tumpuan keluarga. Sebelum gila, orang itu telah lulus sarjana dan mengajar di sebuah tempat bimbingan belajar dengan spesifikasi sebagai guru bimbel matematika!
“Beliau tadinya guru bimbel mas, tetapi karena tekanan hidup dari keluarga karena masalah finansial, beliau jadi gila dan di bawa oleh keluarganya ke tempat ini.” Ujar petugas itu, sambil membalikkan badannya ke sel sebelah.
“Nah, kalau yang ini dia tadinya sarjana hukum, tetapi karena dia stress tidak juga mendapatkan pasangan yang cocok untuk dinikahi akhirnya dia jadi seperti ini.” Tambah beliau, seraya berjalan kembali menuju ke ruangan jaga di depan.
Sementara saya masih terpana dan timbul berbagai pemikiran yang terpintas dalam otak. Saya pun mencoba meladeni pertanyaan orang yang ada dalam sel isolasi ketika menanyakan nama saya. Saya pun menjawab, lalu orang tersebut terus mengajak saya berbicara sambil sesekali marah-marah dengan mata terbelalak dan terkadang tertawa sendiri menceritakan tentang dirinya. Fikir saya dalam hati, “Kalau saya meladeni terus, jangan-jangan saya mulai ikut gila juga?!” Tutur hati saya, sembari kembali ke ruangan depan.
Ketika saya kembali menghampiri kelompok-kelompok kecil diskusi, peserta sudah dalam keadaan mulai mencairkan suasana untuk berbincang dengan beberapa orang sakit jiwa. Tidak ada lagi pasien yang iseng dengan temannya. Selain itu ada yang tetap cuek bermain catur, dan yang lainnya ada yang mondar-mandir ga jelas. Sementara, waktu menunjukkan lima belas menit menjelang berbuka.
Buka Puasa Bersama Orang Sakit Jiwa yang Jatuh Cinta
Saya mencoba mendekati beberapa kelompok diskusi dan ternyata mereka cukup nyambung diajak bercengkrama dengan para peserta. Akhirnya salah seorang peserta bercerita kepada saya, bahwa orang-orang yang dilepas dalam ruangan itu tidak sepenuhnya gila, hanya saja sedikit tidak waras. Jika mereka dalam keadaan normal tanpa tekanan, mereka dapat diajak berbicara tentang berbagai hal layaknya orang normal. Hanya saja mereka tidak dapat diajak berfikir terlalu keras dengan pertanyaan yang memaksa, karena hal ini biasanya yang membuat mereka menjadi lepas kendali.
Beberapa orang yang diajak berbicara ternyata telah akan dikembalikan ke lingkungan masyarakat. Orang-orang tersebut memang telah mampu menjelaskan siapa namanya, dari mana asalnya dan berapa orang keluarganya, walau kadang dalam menjelaskan sesuatu masih terbata-bata. Beberapa bahkan telah mampu sholat dengan baik dan sanggup melafazkan bacaan Al-Qur’an yang telah dihafalnya. walau demikian, kebanyakan diantara mereka belum bisa diajak berpuasa.
Ditengah asyiknya perbincangan, saya melihat seorang ibu yang tengah dikerubungi oleh empat orang peserta. Agak riuh mereka semua bercanda dengan ibu yang sakit jiwa itu. Saya pun menghampiri mereka, dan ternyata para peserta tengah menggoda ibu yang telah berusia sekitar tiga puluh tahun lebih itu. Sebentar melirik sebentar tersipu malu raut mukanya. Saya pun menanyakan apa yang terjadi.
Sontak saya menahan tawa geli setelah djelaskan oleh salah satu peserta. Ya, setelah seorang peserta ODDI membisiki saya dan mengatakan, “Ibu ini malu-malu sambil cerita kalau dia sebenarnya lagi naksir sama bapak pasien yang di belakangya itu, jadi dia rada-rada salting gimana gitu kaa.”hahaha, katanyasambil menutup mulut untuk menahan tawa.
Ternyata orang sakit jiwa juga bisa jatuh cinta… Itulah dunia. Saya pun mendengarkan cerita ibu yang masih dianggap belum sepenuhnya waras tersebut sambil sesekali menahan tawa karena ulahnya menebar cerita yang mengundang tawa. Tak terasa, azan berkumandang terdengar di telinga. Kami pun langsung mengeluarkan ta’jil kami. Namun sayang makanan itu tidak dapat kami bagikan kepada orang sakit jiwa karena memang dilarang oleh petugas.Tapi kami masih boleh memberikan air mineral kepada orang-orang tersebut.
Alhasil, kami makan sendiri sisa ta’jil yang belum dan tak dapat dibagikan. Kami pun lantas membaca doa bersama-sama orang yang dianggap sakit jiwa, “Allahumma Laka Sumtu Wabika Amamtu Wa A’la Rizkika Afdloltu Birahmatika Ya, Arhamar Rahimin,” air mineral pun segera saya tenggak. Bersama-sama kami mulai melepas dahaga, tak terkecuali para orang yang sakit jiwa ikut minum layaknya orang yang sedang membatalkan puasa.
Setelah kami makan beberapa kurma, petugas pun mengatakan waktu kami telah habis. Saya memberi perintah seluruh peserta untuk bergegas untuk kembali ke kampus agar dapat sholat maghrib bersama. Akhirnya, waktu perpisahan dengan orang-orang sakit jiwa tela tiba. Hampir saja saya menitikkan air mata. Tak habis fikir saya dibuatnya, kenapa tekanan hidup yang utamanya karena masalah finansial dapat membuat orang menjadi gila, itulah kehidupan…
Sambil berkaca-kaca saya pun berdoa, “Semoga Allah memberikan balasan yang setimpal atas penderitaan mereka.” Seraya saya berdiri menuju pintu keluar san berpamitan dengan penjaga.
Sekembali kami di luar, saya bersama peserta telihat berbeda. Bukan karena kami jadi ikut gila, tapi bagi kami ini adalah pengalaman berharga. Tidak banyak orang yang tahu kehidupan di balik jeruji Rumah Sakit Jiwa. Belum tentu dua kali kami dapat pengalaman buka puasa seperti ini.
Kini, telah 4 tahun peristiwa itu berlalu sejak hari itu. Sementara hari ini saya dan salah seorang rekan mantan panitia ODDI berbagi cerita dan bernostalgia tentang ODDI dan segala dinamikanya selepas kami sahur tadi pagi. Dan akhirnya saya ingin sekali melukiskan kembali masa-masa itu dalam sederet kata. Selama Ramadhan tahun ini, rekan saya pun sering berujar, “Tahun ini tidak ada lagi ODDI, Ramadhan terasa ada yang hilang.”
Ya, Mulai tahun ini kami telah bercerai-berai, beberapa diantara kami mantan panitia telah disibukkan dengan aktivitasnya masing-masing selepas lulus. Di samping itu, sejak tahun ini ODDI tidak lagi dilaksanakan di bulan puasa karena pergeseran bulan Ramadhan. ODDI sebagai pesantren Ramadhan tidak lagi seagenda dengan jadwal penerimaan mahasiswa baru. Namun ODDI dan buka puasa itu tetap akan menjadi perjalanan yang mengharu biru. Itulah kisah Ramadhan saya yang akhirnya saya tulis kembali agar senantiasa menjadi kenangan Ramadhan nan ceria, seceria ketika saya mengkisahkannya kembali di forum Telkomsel Ramadhanku.
Happy Ied Mubarak
Salam,
Joko Rinanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H