Mohon tunggu...
Joko Palu
Joko Palu Mohon Tunggu... profesional -

sahabat itu indah, indahnya sahabat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mas Joko ‘Menjajah’ Kota Palu

31 Desember 2013   15:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:18 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal tahun 90-an, Indonesia di goyang Helvy Maryand dengan lagu dangdut-nya yang berjudul “Mas Joko”. TNI juga pernah dikomandoi oleh Mas Djoko, dan terakhir Mas Djoko DS juga menghebohkan Indonesia dalam kasus pengadaan simulator SIM. Bahkan Goyangan Mas Djoko DS jauh lebih hot dari goyang ngebor, goyang itik ataupun goyang Depe.

Kali ini, saya Joko akan bercerita tentang ‘penjajahan’ yang dilakukan Mas Joko di Kota Palu – Sulawesi Tengah.

Mas Joko, adalah sebutan untuk warung makan Tahu, Tempe dan Ayam penyet. Warung-warung ini hanya buka pada malam hari, mulai magrib sampai habis. 99 persen milik warga dari Lamongan Jawa-Timur. Karena beberapa warung penyetan ini telah beralih tangan ke orang Bugis.

Dan, meski pada kain untuk tirai warung-warung itu tertulis Mas Bino, Mbah Jiwo, Mas Eko atau mas-mas lainnya. Orang Palu tetap akan menyebutnya dengan Mas Joko. Bukan orang Asli Palu saja, sekarang semua orang yang hidup di Kota Palu, bahkan seluruh Sulawesi Tengah sudah ikut menyebut Mas Joko.

Tahun 2008, waktu saya masih menjadi wartawan harian Media Alkhairaat, masing-masing warung Mas Joko dikenai pajak dan retribusi sebesar Rp 7000 – 10 ribu per malam per warung. Data salah satu lembaga pemerhati sosial di Kota Palu yang saya sudah lupa namanya, jumlah warung Mas Joko waktu itu sekitar 250 warung. Dan saat ini, jumlah itu diperkirakan mencapai 400 warung.

Karena jumlah warung Mas Joko ini sudah terus bertambah, bahkan peminatnya pun telah semakin bertambah, alasan utamanya adalah Murah. Karena jika masakan lainnya, seperti Nasi Campur, Gado-gado, bakso apalagi masakan padang minimal mencapai Rp10 ribu per porsi.

**

Tidak jelas dari mana awalnya, di Kota Palu Warung Tempe, Tahu dan Ayam penyet ini lebih familiar dengan sebutan Mas Joko.

Awalnya, sekitar tahun 2008, dua warung penyetan pertama kali ada yang membuka di Jalan Monginsidi Kelurahan Lolu Utara. Waktu itu namanya masih warung sari laut, dengan aneka menu mulai ayam goring, kepiting, cumi-cumi, ikan laut bakar/goreng, burung dara, dan lainnya tak lupa pula Tahu dan Tempe.

Awal buka kedua warung sangat ramai pengunjung, namun lambat laun menurun omzet, alasannya jelas cukup mahal untuk kondisi perekonomian masyarakat waktu itu. Hingga akhirnya, umumnya pengunjung warung penyetan hanya memesan Tahu, Tempe atau Tempe Penyet, hingga saat ini.

Saat ini.

Seiring pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang di Kota Palu, mulai kondisi perekonomian hingga populasi jumlah penduduk. Khusus untuk jumlah penduduk, tahun 2000-an hanya sekitar 150 ribu jiwa, dan saat ini tahun 2013 jelang 2014 populasi penduduk telah mencapai 300 ribu jiwa.

Selain itu, tahun 2013, pemerintah pusat telah menetapkan Kota Palu sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan diperkirakan tahun 2018 akan terjadi puncak penyerapan tenaga kerja di KEK.

Pemilik warung Mas Joko juga harus mengikuti kondisi tersebut, dengan menyajikan resep khusus diantaranya adalah dengan cara tahu, tempe dan ayam crispy.

**

Kembali ke soal awal mula istilah Mas Joko, sejak tahun 1996, waktu itu saya masih tercatat sebagai pelajar STM Negeri Palu, sekarang SMK Negeri 3 Palu. Di jalan Rajawali, masih di Kelurahan Lolu Utara, ada warung makan sederhana namanya warung tempe penyet “Joko Tole”, meski hingga saat masih tetap eksis, tapi sudah sangat jauh kalah popularitasnya dengan warung Mas Joko lainnya, yang menempati di hampir setiap ruas jalan Kota Palu. Bahkan, Hotel Santika, yang baru launching pada tahun 2013 ini, juga dengan latah menyajikan menu aneka penyetan bagi para tamunya.

Apakah kemudian istilah Mas Joko ini diambil dari warung Joko Tole itu tadi, tidak ada yang tahu pasti. Dan warga Kota Palu juga tak ada yang tahu pasti.

**

Tingginya permintaan pasar terhadap Tahu – Tempe di Kota Palu, tentunya membuka peluang usaha bagi pengrajin Tahu dan Tempe. Kebetulan tahun 2010, penulis sempat berhenti total sebagai wartawan, dan banting setir menjadi karyawan salah satu pengrajin Tempe, nama bosnya adalah ustadz Fauzan selama kurang lebih delapan bulan, baru kemudian setelah merasa bisa dan mampu mencoba keberuntungan dengan membuka sendiri usaha produksi Tempe.

Sewaktu masih jadi karyawan Ustadz Fauzan, setiap hari kami harus mengolah kedelai sebanyak lima hingga lima setengah Ton, atau antara 10 hingga 11 karung kedelai, masing-masing karung berisi 50 kilogram.

Ustadz Fauzan hanyalah satu dari sekitar 25 pengrajin Tempe di Kota Palu, hingga saat ini, diperkirakan telah mencapai 35 pengrajin tempe. Dengan rata-rata produksi antara dua hingga 10 karung kedelai. Untuk pengrajin Tahu, meski tidak ada penelitian khusus diperkirakan telah mencapai 15 pengrajin. Dengan produksi rata-rata dua hingga delapan karung kedelai, atau satu hingga empat kuwintal kedelai.

Namun, produksi tahu tempe ini juga dipasarkan ke kabupaten tetangga, yaitu Parigi Moutong, Sigi dan Donggala.

**

Sebenarnya, Palu adalah Kota Teluk, masyarakatnya khususnya etnis aslinya dan etnis Bugis peng-konsumsi setia ikan laut. Namun jika diperhatikan dari segi kuantitas, Mas Joko jauh lebih mendominasi jumlah warung makan yang menyajikan menu lokal, seperti warung makan Kaledo, Uta Dada ataupun Uve Mpoi. Diseluruh sudut Kota Palu, keberadaan warung makan Kaledo, Uta Dada maupun Uve Mpoi bisa dihitung jumlahnya dengan jari.

Jika melihat jumlah pengrajin dan warung Mas Joko, meski sebenarnya bernama Mas Adi, Mas Dedi dan mas – mas lainnya, secara ekonomi pemilik warung sudah bisa dibayangkan. Meski sederhana warungnya, dan masih menyewa tempatnya, tapi didepan warung terparkir kendaraan roda empat pemilik warung, mulai Xenia hingga Avanza.

Sedangkan warung makan menu lokal Lembah Palu, hanya yang telah dikenal warungnya, dan memiliki modal cukup tinggi untuk membuka dan sukses.

Namun, secara budaya, jika pembaca ada yang berkunjung ke Kota Palu, jangan lupa mencoba Kaledo. Hehehehe……

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun