Klemar-klemer; bukan hanya saat bicara; tetapi juga saat dia berjalan. Postur tubuhnya ringkih, tak meyakinkan untuk memimpin 250 juta rakyat Indonesia.
Beda dengan Prabowo, sebagai mantan Danjen Kopassus, tentu memiliki kemampuan tempur dan adu fisik yang luar biasa. Apalagi, Prabowo juga pembina Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI).
Jokowi, sebagai seorang wali kota hingga jadi gubernur DKI Jakarta, memiliki hobbi blusukan. Menyerap, mendengar dan menyaksikan langsung apa yang dirasakan rakyat. Sebagai Wali Kota Surakarta, Jokowi juga beberapa kali menerima penghargaan sebagai wali kota terbaik. Kalau penghargaan itu hanya dari beberapa lembaga luar negeri, mungkin, bisa saja subyektif, tetapi presiden SBY pun pernah memberikan penghargaan.
Melakukan penggusuran maupun relokasi PKL dengan tanpa kekerasan, itulah salah satu kemampuan kepemimpinan Jokowi. Dia, Jokowi, percaya bahwa rakyatnya tidak akan melakukan kekerasan jika tidak dikerasi. Untuk itu, tampang sangar petugas Trantib/Satpol-PP dengan harus dengan berspatu Lars, kabaret serta simbol-simbol militer lainnya, bukan jaminan suksesnya penertiban PKL, ataupun warga di kawasan pemukiman kumuh.
Maka, diubahlah pakaian petugas trantib dengan simbol-simbol keseharian rakyat. Dan ditunjuklah kepala Satpol-PP dari perempuan.
Kemudian, sejak sebelum dimulainya kampanye terbuka oleh pihak penyelenggara, KPU, berbagai isu miring tentang Prabowo ataupun Jokowi santer berhembus.
Untuk Prabowo, isu penculikan, pelanggaran HAM, memimpin keluarga saja tidak mampu, karirnya dimiliter berakhir dengan pemecatan dan lainnya. Cukup banyak.
Untuk Jokowi, tak kalah banyaknya, bahkan kalau melihat berita, isu miring tentang Jokowi jauh lebih banyak dibandingkan isu tentang Prabowo.
Mulai Capres Boneka, antek asing, cina, kristen, disusupi syi’ah, kelasnya hanya pemimpin kota dan provinsi, lemah, kerempeng, bahasa asingnya lemah, capres munafik, anti Islam, pro pelacuran dan macam-macam.
Dan untuk setiap isu miring, para netter, timses, pendukung dan relawan masing-masing capres, dengan sigap dan cepat langsung membantah melalui caranya masing-masing.
Tapi, dengan memperhatikan setiap komentar, pendapat hingga pembelaan masing-masing pendukung pasangan capres-cawapres. Saya semakin condong untuk mempercayakan negeri ini dipimpin Jokowi.
Apalagi, usai debat kandidat pertama, nampak jelas bagaimana rekam jejak kedua pasangan capres-cawapres bagi negeri ini.
Karena, seorang pemimpin tidak harus yang bertubuh tegap, ataupun keras saat berbicara, layaknya seorang petugas keamanan. Ketegasan adalah dalam hal mengambil kebijakan. Maka tak heran, Jokowi-JK selalu berkata, “yang pernah kami lakukan”. Sementara Prabowo-Hatta bilang, “kami akan”.
Yang lebih menarik bagi saya adalah, ketika Jokowi disebut pengkhianat terhadap kepercayaan rakyat Solo dan Jakarta, karena setelah terpilih selalu menerima tawaran jabatan yang lebih tinggi. Bahkan, Jokowi disebut gila jabatan, menurut saya inilah yang menarik, karena dia selalu diminta untuk memimpin, bukan meminta jabatan sebagai pemimpin.
Jokowi lebih memilih mendekat dengan rakyat melalui blusukan. Yang kemudian diikuti wartawan, diberitakan seluruh media. Dulu, Jokowi disebut membayar media untuk pencitraan. Tapi sekarang, hanya satu televisi nasional yang tegas membela Jokowi.
Bahkan, ada wartawan yang dengan garang menerbitkan tabloid untuk menyebarkan “sisi Negatif” Jokowi, Tabloid “Obor Rakyat”.
Dan yang terpenting adalah, status garang di media sosial Facebook, yang dengan lugas, jelas dan keras menyebut Jokowi munafik, penipu, pengkhianat, memaksa jadi presiden. Justru kian meningkatkan simpati saya kepada Jokowi.
Apalagi kalau yang menulis status itu seorang Caleg Gagal......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H