Mohon tunggu...
Joko Hariyono
Joko Hariyono Mohon Tunggu... Ilmuwan - Doctor of Philosophy

Karir: - Kerjasama Luar Negeri, Pemda DIY Pendidikan - Ph.D dari University of Ulsan (2017)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok Kejeglong

30 November 2016   16:36 Diperbarui: 30 November 2016   17:28 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya selalu ingat pesan almarhum Ayah saya setiap hendak bepergian naik sepeda, “Awas Kejeglong”. Maklum , di tahun 80an jalan-jalan dilingkungan kompleks perumahan kami masih belum dikeraskan dengan aspal maupun konblok. Setiap hujan deras turun menyebabkan genangan air dimana-mana dan menciptakan banyak lubang-lubang di jalan tanah yang setiap hari kami lalui saat ke sekolah, pergi mengaji ke masjid atau sekedar jalan-jalan di lingkungan kompleks kami.

Kejeglong sering didefinisikan sebagai ketidaksengajaan terperosok ke dalam lubang atau cekungan tanah yang cukup dalam. Sedikit berbeda dengan kejeblos yang lebih dikonotasikan terjebak dalam perangkap (lubang) yang menyeramkan. Namun kejeglong lebih natural, terjadi secara alami tanpa ada campur tangan pihak lain. Lebih jauh, dampak dari kejeglong ini menyebabkan seseorang jadi nervous, memaksa berhenti beberapa saat, bahkan cidera serius sehingga tidak dapat melanjutkan perjalanan.

Karena kejadiannya begitu natural, seringkali kejeglong terjadi karena kurangnya kehati-hatian kita. Mungkin bisa jadi karena jalanan gelap, atau ini karena pengalaman pertama kali kita melalui jalan itu, sehingga kurangnya pengetahuan dan jam terbang pada trayek baru ini menyebabkan kita kejeglong. Tidak sedikit juga  bisa jadi karena karakter kita yang sembrono, tidak mendengarkan apa yang diingatkan oleh orang lain. “Jangan lewat sana, jalannya berlubang-lubang cukup parah”, namun bagi sebagian orang mungin ini dianggap menantang. Sehingga kadang-kadang ada orang tua yang kalo nyukurin anaknya pas kejeglong, “Rasain, dikasih tahu orang tua ngeyel”... pengalaman pribadi.

Demikian juga dalam konteks sosial, kejeglong dapat dimaknai dengan keterperosokan kita pada skandal atau kasus yang mengharuskan kita berhenti sejenak mengatasi rasa nyeri akibat kejadian ini. Saya masih ingat pada awal 1999 ada skandal cukup besar di dunia persepakbolaan, yaitu ucapan Glen Hoddle tentang kaum disabilitas. Siapa yang tidak mengakui Inggris begitu menjunjung tinggi kebebasan berpendapat? Bahkan “Salman Rusdhie” penulis buku “The Satanic Verses” adalah berkebangsaan Inggris.

Siapapun punya potensi kejeglong, atau terperosok dalam lubang kontroversi. Bahkan seorang Glen Hoddle yang kala itu digadang-gadang sebagai Manajer Tim Inggris terbaik di masa itu. Kata menyesal dan permintaan maaf rasanya belum cukup untuk menyembuhkan pedih kaum disable, komunitas sosial maupun politisi di Inggris. Kendatipun tidak sampai dipenjara, pelepasan dari jabatan dan sikap asosiasi sepakbola FA untuk tidak mempekerjakannya kembali di anggap cukup untuk mengekang perilaku sembrono dan mengembalikan kesadaran seorang Glen Hoddle akan pentingnya professionalitas.

Jika kejeglongnya hanya sekali mungkin bisa kita maklumi sebagai ketidaksengajaan. Namun, yang dikhawatirkan orang tua terkadang karena tabiat anknya yang “bola-bali” atau sering kejeglong. Sewaktu kecil kebetulan saya punya temen seperti itu. Ayahnya sering marah-marah karena sepeda jadi rusak, baju bagus-bagus jadi sobek, dan kaki anaknya belang-belang bekas luka karena akrab dengan perban. Meskipun dihukum tidak boleh bawa sepeda lagi, ada aja akalnya pinjem sepeda temennya, dan lagi-lagi kejeglong di kubangan air keruh. Pulangnya dimarahin lagi.

Sebenarnya saya memahami si anak tidak menyadari perilakunya menyusahkan orang-orang yang menyayanginya, namun bisa jadi ini kesalahan orang-orang disekitarnya yang tetap membiarkan ia tetap memiliki kesempatan untuk berkeliaran di tempat yang sama dan mengulangi kesalahan itu berkali-kali. Kabar terakhir yang saya dengar, dia di sekolahkan di pondok pesantren agar dapat memulai kehidupan dan pengalaman baru di sana.

Apapun yang terjadi pada diri kita, jika kita mau merenungkan lebih dalam, adalah buah dari perilaku kita. Kebiasaan itu konsisten, karena berjalan autonomous di alam bawah sadar kita. Karena anda terbiasa pulang-pergi ke kantor melalui jalan yang sama setiap hari, terkadang meskipun anda habis berantem hebat dengan istri di rumah atau habis dimarahi Bos di kantor, anda tetap saja bisa mengendarai mobil anda dengan kendali aoutonomous sampai ke tujuan. Meskipun kadang-kadang emosi yang meledak-ledak dapat menyebabkan kecelakaan dan lain-lain. Namun, bantuan otak bawah sadar cukup dapat menuntun kita mengendarai berdasarkan pengalaman yang kita kumpulkan di dalam memori otak berulang kali.

Demikian juga dengan keteledoran kita, terkadang terjadi karena otak kita menerima dan mentolelir perbuatan kita yang bola-bali kejeglong. Nasihat dan omongan orang lain tidak pernah menggugah pikiran kita untuk lebih berhati-hati. Ini sangat berbahaya jika misalnya terjadi pada seorang penjahat yang begitu menikmati tantangan saat dia jadi Buronan pencarian Polisi. Hidup berpindah-pindah di lorong-lorong sempit persembunyian lebih menantang baginya daripada tinggal monoton dengan dua orang anak dan istri yang setiap pagi melepasnya kerja dan menunggu kepulangannya di sore hari. Di nasehati untuk berubah, fikirannya selalu mengkonfrontasi, “ini gue, Ini hidup gue buat apa loe ngatur-ngatur.”

Ia tidak pernah melihat bahwa sebenarnya orang-orang yang memarahi dan mengumpat kearahnya sedang menunjukkan hal-hal buruk yang tidak dapat kita lihat. Orang-orang baik yang sedang menginginkan agar kita berubah, sebenarnya peduli dengan kita agar kita menjadi lebih baik. Bahkan jika seorang pemimpin dimusuhi orang-orang yang berniat jahat sekalipun, sebetulnya ia sedang diingatkan bahwa ada sebagian golongan dari orang yang ia pimpin yang merasakan kehadirannya membuat orang lain tidak nyaman.

Melihat Ahok yang kerap kali bersebrangan pendapat, sikapnya mengundang kontroversi, lisannya yang kadang-kadang terlalu tajam dan melukai berbagai pihak, bisa jadi itu seperti seorang anak yang saya ceritakan di depan, “bola-bali kejeglong”.  Pendirian yang terlalu kuat bahwa yang kita lakukan adalah sudah sepantasnya, jika sudah dikuatkan dalam kebiasaan bertahun-tahun sudah menjadi kebiasaan yang melekat. Seandainya ada orang yang dituakan sekalipun mengingatkan, “besok jangan diulangi lagi ya?” Mungkin seperti anak yang telah diceritakan didepan, Ia merengek “Maaf Pak, besok gak diulangi lagi”, keesokan harinya kita denger berita lagi “Dia Kejeglong lagi”.....:))

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun