Apa yang tersisa dari perhelatan akbar Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan? Pastinya ada suka, duka, tawa, tangis, memori indah, memori buruk, bahkan sampah yang berserakan yang siap dipungut untuk dibuang :).
Sesampah-sampahnya sampah (halah...) maka ada sampah yang siap dibuang, tapi ada juga sampah yang masih bisa dipakai ulang. Sampah apa yang bisa kita pungut dari perhelatan akbar ini untuk kita bawa/gunakan ulang di Indonesia?
Sampah pertama bernama sportifitas. Di WC 2010, sampah jenis ini begitu nyata dalam tiap pertandingan. Setiap tim berusaha mewujudkan sportifitas dalam tiap pertandingan. Seberapa adil atau tidaknya wasit dalam memberi keputusan, memberi kartu kuning dan merah, memberi tiupan peluit, memberi lambaian bendera, maka tiap pemain menghargai tiap putusan tersebut. Pasti ada yang terpancing dan bisa menjurus ke arah kekerasan, tapi ada pemain-pemain lain yang berusaha menjaga temannya agar tetap menjaga sportifitas. Di Indonesia, sportifitas memang benar-benar sudah menjadi sampah, gak dipake lagi. Gak suka ama keputusan wasit atau pemain lawan, maka tinggal bogem aja, tendang aja, dll. Sungguh cape deh bangsa kita ini...
Sampah kedua bernama “bola itu bundar”. Di WC 2010 ini, terlihat bagaimana mulai dari pemain hebat hingga tim-tim hebat berguguran. Semua seperti hilang sirna oleh permainan kolektifitas, oleh kesolidan tim, dll. Ada Jerman yang bisa dikalahkan Serbia, Italia yang dikalahkan Slovakia, Spanyol yang dikalahkan Swiss, Perancis yang benar-benar diporak-porandakan di dalam dan di luar lapangan, Brazil, Argentina, dan Jerman yang tumbang di luar prediksi kebanyakan orang, dll. Seharusnya Indonesia bisa berkaca, bahwa Indonesia sangat mungkin maju ke putaran final Piala Dunia, asal mau maju, mau berbenah, dan mau kerja keras. Kalah soal fisik? Lihat saja seberapa pendek Maradona, Roberto Carlos, Lionel Messi? Apakah mereka bukan bintang dengan tubuh pendek mereka? Mental lah yang terpenting, dan Indonesia sudah membuang ke tempat sampah mental bangga sebagai bangsa Indonesia dan mental juara. Alhasil, skill tak ada, mental pun juga.
Sampah ketiga bernama mental malu dan bertanggung jawab. Banyak dari tim-tim yang gagal di piala dunia membuat pelatihnya mundur, pengurus asosiasi sepakbolanya mundur, hingga bintangnya pun mundur juga. Semua hanya karena mereka sadar mereka belum memberikan yang terbaik, dan waktunya generasi yang lain yang maju menggantikan mereka. Ada yang diterima proposal pengunduran diri mereka, tapi ada juga yang ditolak seperti Maradona. Sekali lagi, benda seperti itu juga memang sudah menjadi sampah di Indonesia ini. Tak ada yang merasa bertanggung jawab akan kemunduran timnas PSSI, keterpurukan yang terjadi mungkin hanya karena kita kurang mujur saja...tak ada yang salah dengan liganya, dengan pembinaannya, dengan pengurus PSSI, dengan pemainnya, dll. semua baik-baik saja di Indonesia ini, tak ada yang salah dengan kepemimpinan Nurdin Halid dan Nugraha Besoes.
Sampah yang terkahir adalah sampah kebersamaan. Sampah yang begitu jelas ada di WC 2010. Terutama kebersamaan antara sesama suporter yang berbeda. Pendukung tim yang kalah tak menimbulkan huru-hara karena kekalahan tim favorit mereka, mereka juga tidak mengejar-ngejar atau menganiaya pendukung lawan yang menang. Semua menerima hasil yang ada, memang mesti ada yang menang dan ada yang kalah. Itu normal kok. Yang gak normal, adalah yang mau menang terus, walau gak bisa main; mau menang terus, walo jelek mainnya. Berhubung saya masih normal, maka saya terima saja kalau Indonesia memang masih jadi sampah di kancah persepakbolaan ASEAN, asia, bahkan dunia :).
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H