Mohon tunggu...
Joker Merah
Joker Merah Mohon Tunggu... pegawai negeri -

the real Joker

Selanjutnya

Tutup

Catatan

I Want to Live Longer. . .

16 Mei 2011   00:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:38 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear friends,
Mungkin sebagian dari teman-teman sudah mengetahui pekerjaan saya (yaiyalah, sekantor gitu lho). Untuk yang belum, saya ilustrasikan sedikit mengenai pekerjaan saya. Saya bekerja di sebuah lembaga pemerintah non departemen, berlabelkan BADAN PUSAT STATISTIK. Yang dilakukan lembaga ini adalah pengumpulan data, penyajian data, baik itu lewat survey dan sensus yang diadakan sendiri, atau pengumpulan dari instansi-instansi lain.

Sebagai bagian dari keluarga BPS, tidak dapat dihindarkan bahwa data collection juga merupakan bagian dari pekerjaan saya. Mengunjungi responden, bisa perorangan, rumahtangga, perusahaan, tergantung dari jenis survey dan sensus yang sedang dijalankan. Memberi mereka pertanyaan, dan menjelaskan apa maksud dan tujuan dari kegiatan yang kami lakukan (responden berhak akan itu, sebagai pengganti 'waktu dan kesediaannya' menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan petugas sensus).

Apa yang mau saya tulis disini adalah salah satu pengalaman survey sensus saya, yang sampai saat ini cukup membekas di hati. Mudah-mudahan juga dapat menjadi pengingat untuk saya ke depannya,bahwa hidup itu begitu berharga.

Survey ini baru beberapa bulan lewat, masih di tahun 2009. Respondennya adalah perorangan, rumahtangganya dan rumahtangga pembanding. Salahsatu tujuannya adalah ingin melihat adakah perbedaan pola pengeluaran antara rumahtanga responden dan rumahtangga pembanding, selain itu apakah ada perlakuan tidak enak (diskriminasi) yang diterima responden dan keluarganya dari lingkungan sekitar.

Memangnya siapa respondennya?

Respondennya adalah teman-teman yang selama ini keberadaannya hanya saya ketahui melalui berita di media massa, jurnal-jurnal kesehatan,atau film, baik di televisi maupun layar lebar. Akhirnya, saya berkesempatan juga bertemu langsung dengan mereka dan melihat kehidupannya sehari-hari.
(oh ya, sebagai petugas sensus, jika surveynya adalah mengenai kesejahteraan dimana ada pendekatan pengeluaran, kami diharuskan menanyai pengeluaran rumahtangga responden, dengan demikian sering terlintas di kepala saya bahwa seharusnya anggota dpr itu adalah para petugas sensus, karena mereka mengetahui kondisi masyarakat real sampai ke dapur-dapurnya, hehehe... atau, ya anggota dpr itu sekali-kali dilibatkanlah dalam kegiatan pencacahan lapangan, jangan bisanya cuma rapat dan tau teorinya aja).

My new valuable friends, demikian saya akan mengatakannya, karena dari mereka saya mendapatkan pelajaran baru. Teman-teman saya yang merupakan responden dari survey ini diketahui menderita HIV+, suatu penyakit yang sampai sekarang secara medis belum ada obatnya. DAlam menjalankan survey ini, saya mendapatkan pendamping. Pendamping saya ini berasal dari salah satu organisasi peduli HIV/AIDS, dimana syarat untuk menjadi anggotanya adalah merupakan ODHA (orang dengan hiv/aids). Tentang penyakit ini, teman, saya bukanlah dokter yang dapat memberikan penjelasan secara tepat, silahkan teman mencari sebanyak-banyaknya informasi tentang penyakit ini. Yang ingin saya ceritakan adalah pengalaman saya selama lebih kurang dua bulan mengamati dan berada bersama teman-teman baru saya ini.

Berhubung survey/sensus bps itu bersifat rahasia, jadi saya tidak akan menyebutkan nama, nama tempat dan lokasi dimana saya melakukan pendataan. Maaf ya teman-teman, tapi teman-teman baru saya itu juga perlu privasi. =)

I'm with HIV/AIDS

Mungkin, jika Anda hidup sebatangkara di dunia ini, tak punya pekerjaan, dan tak perduli dengan status sosial Anda di mata masyarakat, tidak sulit untuk membuat pengakuan ini. Namun, bagi orang kebanyakan, dibutuhkan kesiapan mental untuk dapat mengakuinya. (menerima kenyataan menjadi ODHA saja sudah berat, apalagi 'membuka status' kita kepada orang lain). Salah satu peranan dari organisasi yang diikuti pendamping saya adalah memberikan layanan konsultasi. Lebih mudah mengatasi keadaan jika kita tahu kita tidak sendiri, dan ada yang mau perduli. Penting untuk ODHA mengetahui seperti apa HIV/AIDS itu, dimana ODHA bisa mendapatkan pelayanan kesehatan, dan informasi-informasi terkait ODHA lainnya. Sekarang saya mengerti, mengapa organisasi teman saya itu menjadikan ODHA sebagai syarat anggotanya, siapa lagi yang mau betul-betul perduli terhadap ODHA selain ODHA itu sendiri?

(Sebetulnya teman, ketika mendapat tugas untuk ikut serta dalam pendataan ini, saya takut. Saya takut bahwa responden saya, pendamping saya, dapat mengetahui rasa takut saya. Saya takut bahwa rasa takut saya tergambar dalam sikap tubuh saya tanpa saya sadari. Padahal, apa yang dapat menyebabkan seseorang terinfeksi HIV sudah saya ketahui melalui banyak referensi. Lalu saya bertanya, jika sudah tahu saja masih takut, bagaimana lagi jika tidak mengetahui apa-apa? Beruntung, suami saya mendukung dan banyak memberikan penjelasan kepada saya. Thanks, El...)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun