Hasil tes PISA tahun 2018 cukup mengejutkan bagi pemerhati pendidikan, termasuk beberapa media yang mengulas hasil performa akademis anak-anak di seluruh dunia dengan bermacam-macam ulasan serta reaksi. Salah satu reaksi mengejutkan ditujukan pada hasil tes Tiongkok yang menduduki peringkat pertama dengan skor tertinggi pada kota BSJZ (akronim dari Beijing-Shanghai-Jiangsu-Zhejiang).Â
Daripada daerah lainnya seperti Guangdong, BSJZ mencetak prestasi teratas dalam ketiga bidang, yaitu membaca, matematika, dan sains. Hasil tes sebelumnya yang memasukkan daerah Guangdong pada tahun 2015 hanya menempatkan Tiongkok pada posisi ke 10.
Kali ini nilai provinsi Zhejiang lebih tinggi Guangdong dengan perbedaan skor yang begitu mencolok. Selisih ini pun menimbulkan kecurigaan, apalagi Guangdong kali ini tidak diajukan untuk pengetesan melainkan provinsi Zhejiang. Kritik pun muncul dari Tom Loveless, seorang pakar prestasi siswa, ujian, kebijakan pendidikan, dan reformasi sekolah K-12 dalam artikelnya di Washington Post.Â
Ia menemukan suatu kejanggalan bahwa Tiongkok mengubah provinsi yang berpartisipasi dalam PISA, yaitu dari kelompok BSJG (Beijing-Shanghai-Jiangsu-Guangong) pada 2015 menjadi BSJZ pada 2018.
Jika kali ini Tiongkok menduduki peringkat pertama tes PISA, maka pertanyaannya adalah seberapa tangguh pendidikan di Tiongkok ? Mungkinkah pendidikan kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, Zhejiang, Jiangsu, Guangzhou, plus Macao dan Hongkong dapat dibandingkan dengan daerah seperti Yunnan, Xinjiang, Guangxi, atau Mongolia Dalam? tentu jawabannya seperti membandingkan kualitas pendidikan di Jakarta, Yogyakarta, Bali dengan daerah lain yang fasilitas pendidikannya kurang memadai di Indonesia.
Meskipun Tiongkok belum beranjak dari statusnya sebagai negara berkembang ke negara maju, namun terdapat puluhan kota yang sudah sangat maju dengan fasilitas pendidikannya yang berkelas internasional. Artinya distribusi sumber daya pendidikannya belum merata, apalagi secara geografis banyak pegunungan dengan daerah terpencil yang membuat fasilitas pendidikan terbatas.Â
Selain itu karena jumlah penduduk, sumber daya pendidikan tampaknya juga tidak memadai untuk semua anak, termasuk jumlah universitas. Maka dari itu kompetisi di dunia pendidikan yang ketat, terutama di sekolah menengah sudah terbentuk dan terbiasa sejak lama. Kompetisi ini tercermin pada pendidikan yang berorientasi ujian yang mana merupakan salah satu inti penting dalam dunia pendidikannya.
Bagi masyarakat Tiongkok keberadaan sistem pendidikan berorientasi ujian bukanlah hal mengejutkan. Sistem tersebut telah berakar dari sejarah Tiongkok yang panjang.Â
Pada dinasti Sui (581-618 M), kaisar Suiyang mengajukan inisiatif sistem ujian kenegaraan, tetapi belum terbentuk matang sampai dinasti Tang (618-907 M). Sistem ini mengubah sistem lama di Tiongkok yang menilai dan menentukan kemampuan dan pangkat seorang berdasarkan pada status keluarga dan latar belakangnya.Â
Hal ini mengakibatkan banyak anak berbakat tidak mempunyai akses untuk mempertunjukkan kecerdasan dan keterampilan mereka, apalagi mencapai cita-cita mereka. Sistem ujian kenegaraanlah yang memberi kesempatan kepada mereka para pelajar berkompetisi dalam ujian yang adil, tanpa adanya KKN oleh para pejabat daerah. Jika seseorang meraih nilai yang bagus dalam hasil ujian maka langsung ditempatkan oleh kaisar ke posisi sesuai kemampuannya.