Inisiatif Made In China 2025 yang pertama kali diluncurkan pada tahun 2015 menjadi salah satu isu penting dalam persaingan AS-Tiongkok. Namun pada laporan kerja pemerintah tahun 2019 yang disampaikan oleh Perdana Menteri Li Keqiang kepada Kongres Rakyat Nasional tidak menyebutkan inisiatif Made in China 2025 untuk pertama kalinya dalam tiga tahun. Made In China 2025 sebagai sebuah agenda di bawah kepemimpinan Xi Jinping semakin lama menjadi simbol yang secara tepat memprovokasi AS terhadap kemunculan Tiongkok sebagai kekuatan teknologi yang menyaingi kepemimpinan Amerika saat ini.
Salah satu tujuan utama Made In China 2025 adalah untuk memutuskan, atau setidaknya mengurangi ketergantungan industri pada impor teknologi buatan luar negeri yang canggih. Strategi ini menargetkan 70 persen swasembada dalam komponen-komponen penting di berbagai industri berteknologi tinggi.
Pada intinya Made in China 2025 bertujuan untuk mengubah Tiongkok menjadi negara adidaya manufaktur. Secara khusus Made in China berfokus pada 10 sektor-sektor meliputi industri teknologi informasi canggih baru termasuk kecerdasan buatan (AI), industri peralatan mesin otomatis dan robotika, industri aerospace dan aeronautika, industri peralatan maritim dan pengiriman berteknologi tinggi, industri peralatan transportasi kereta api modern, industri mobil tanpa sopir dan kendaraan dengan energi terbarukan, industri peralatan listrik, industri agrikultur, industri bahan baru, dan Industri biofarma dan produk medis.
Namun pada 2017, manufaktur teknologi tinggi hanya menyumbang di bawah 13 persen. Lebih dari setengah standar teknologi Tiongkok untuk manufaktur pintar tidak cocok dengan standar internasional. Made in China 2025 sebagai bentuk strategi Beijing untuk supremasi manufaktur teknologi yang belum sampai 4 tahun digaungkan ternyata tengah menghadapi hambatan besar.
Gu Qiang, mantan wakil direktur divisi perencanaan dengan Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi yang membantu menyusun rencana Made in China 2025 tentang modernisasi industri mengatakan masalah struktural di perusahaan-perusahaan dapat menghambat pengejaran dominasi manufaktur berteknologi tinggi Tiongkok. Perusahaan juga menghadapi tantangan besar dalam melonjaknya biaya tenaga kerja dan keuangan.
Pada sebuah acara wadah pemikir di Beijing ia mendukung pandangan bahwa masalah struktural dalam perusahaan-perusahaan Tiongkok dapat menghambat upaya untuk mengejar kesenjangan dan dominasi negara maju dalam manufaktur teknologi tinggi global.
Seorang pengusaha lokal pernah berkata bahwa negara ingin mendorong Made in China 2025, tetapi sebagian besar perusahaan tidak akan bertahan hingga 2025. Banyak perusahaan ditutup karena pembatasan polusi pada ratusan pabrik untuk mengurangi polusi udara. Selain itu, banyak perusahaan juga menghadapi tantangan besar terkait kenaikan biaya tenaga kerja secara drastis dan biaya pendanaan yang tinggi.
Melonjaknya biaya telah mendorong banyak perusahaan mengalihkan operasinya ke negara-negara tetangga, seperti Vietnam, apalagi tren ini dipercepat oleh peningkatan tensi perang dagang AS-Tiongkok.
Banyak perusahaan AS yang beroperasi di Tiongkok selatan mempertimbangkan untuk menunda investasi lebih lanjut dan memindahkan sebagian atau semua manufaktur mereka ke negara lain.
Meskipun Beijing berupaya membantu produsen dengan memotong pajak dan biaya lainnya, namun hambatan lainnya adalah adalah ketidakmampuan produsen untuk menghasilkan produk berkualitas tinggi.