Mohon tunggu...
Jomar
Jomar Mohon Tunggu... -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dolly dan Child Traffiking

4 Juli 2014   01:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:35 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengingat sekilas tentang peristiwa-peristiwa yang baru-baru ini santer diberitakan, pasti salah satunya mengarahkan perhatian kita pada penutupan Dolly di Surabaya. Seperti yang dilansir dalam tempokini.com (20/06/2014), selama ini memang Dolly dikenal sebagai kawasan lokalisasi yang cukup pesat dan mendapat perlindungan tersendiri dari pemerintah. Sejauh ini memang tidak ada tindakan tegas dari aparat pemerintah setempat terhadap praktik porstitusi yang berkembang di Dolly. Barulah, semenjak masa pemerintahan Tri Risma diambil tindakan tegas untuk menutup kawasan prostitusi terbesar se-Asia Tenggara tersebut pada Rabu (18/6/2014).

Sebuah hal yang menarik perhatian saya adalah alasan dari walikota Surabaya tersebut mengambil keputusan yang fenomenal ini. Masih dilansir dari tempokini.com (20/06/2014), Tri Risma menyatakan alasan mendasarnya memutuskan penutupan lokalisasi Dolly salah satunya adalah untuk menyelamatkan anak-anak yang tinggal di sekitar Dolly, karena Tri Risma menemukan banyak anak-anak yang tinggal di sekitar Dolly menjadi pelaku kriminal perdagangan manusia atau mucikari cilik (kucing garong).

Mungkin kita masih ingat film Virgin yang melejitkan nama Laudya Cinthia Bella sebagai pemeran utamanya pada sekitar tahun 2000. Film itu menggambarkan fenomena anak-anak kota yang masuk ke dalam bisnis prostitusi. Miris sekali jika kita melihat film tersebut, bagaimana anak perempuan usia belasan menjual keperawanan mereka dengan imbalan sejumlah uang. Bahkan, orang yang membawa mereka masuk ke bisnis gelap itu adalah teman sebaya mereka sendiri. Mucikari cilik. Itu bukan sekadar rekaan film. Di kehidupan nyata, hal semacam itu marak terjadi sebagai bentuk perdagangan anak (child traffiking).

Dari berbagai studi yang ada, kasus anak yang terlibat pelacuran mulai marak sekitar tahun 1990. Korbannya bukan saja anak-anak desa yang diiming-imingi pekerjaan di kota lalu ternyata dijadikan pelacur, tetapi juga dari anak-anak kota yang menginginkan gaya hidup berlebihan. Hal ini memang memprihatinkan, namun permintaan seks dengan anak memang sudah ada sejak dulu. Alasannya adalah mitos berhubungan seks dengan perawan akan membawa keberuntungan dan sebagai obat awet muda. Alasan yang lebih ironis lagi adalah berhubungan seks dengan perawan untuk menghidarkan diri dari bahaya penyakit menular seksual semacam HIV/AIDS.

Tidak berbeda dengan yang diceritakan dalam film Virgin, kasus Dolly juga memaparkan child traffiking tidak melulu mengenai prostitusi anak-anak perempuan, tetapi juga anak-anak yang berprofesi sebagai mucikari. Anak-anak yang pernah tertangkap pihak berwajib mengaku sudah pernah “dijual” sebelumnya, sehingga sudah mengetahui seluk-beluk dunia prostitusi dan bisa dengan mudah mengajak kawan-kawan sebayanya untuk mengikuti jejaknya. Biasanya mereka akan membujuk kawan yang butuh uang atau sudah pernah berhubungan seks sebelumnya. Mengapa dia melakukan itu, motifnya sederhana, uang tambahan untuk hidup foya-foya.

Anak-anak tidak berkembang berdasarkan apa yang mereka miliki dari lahir saja (nature), lingkungan juga mendidik mereka menjadi siapa mereka nanti (nurture). Tidak heran jika anak-anak gang Dolly tumbuh menjadi mucikari cilik. Kita bisa melihat ada pengkondisian di sini. Tindakan penutupan Dolly adalah satu langkah besar yang bagus, namun menurut saya itu seharusnya hanya langkah awal. Menyelesaikan problematika child traffiking apapun bentuknya tidak cukup hanya dengan menutup tempat praktiknya. Tempat bisa dengan mudah ditutup, tetapi industrinya bisa terus berjalan dengan menemukan metode baru. Sederhananya, anak-anak itu akan kembali menjadi mucikari, karena itulah hal yang selalu mereka lakukan selama ini, bahkan mereka mendapatkan keuntungan karenanya. Bagaimana agar mereka tidak kembali? Itu yang menjadi pertanyaan kita semua. Dibutuhkan pembinaan mental bagi anak-anak korban child traffiking ini.

Seperti yang dikemukakan seorang pikolog, Ivan Pavlov, dalam teorinya tentang bagaimana manusia mempelajari sebuah perilaku. Ada tahapan yang disebut extinction, dimana jika manusia tidak mendapatkan lagi penguatan/keuntungan/manfaat, maka conditioned response atau perilaku yang telah dipelajarinya selama ini akan menghilang. Itulah langkah awal yang dilakukan oleh Tri Risma, menghilangkan penguatan dari praktik child tarffiking di Dolly dengan menutup bisnis prostitusi di kawasan itu. Namun, Pavlov juga mengutarakan tentang spontaneous recovery (pemulihan), artinya tidak menutup kemungkinan keinginan anak-anak gang Dolly menjadi mucikari akan muncul kembali sekalipun Dolly telah tutup, misalnya saja mereka berniat bergabung dengan prostitusi ilegal di kawasan lain. Pavlov menyebutkan, oleh karena itu satu sesi extinction saja tidak akan cukup. Dengan kata lain, anak-anak ini perlu pendekatan intensif, perlu dibina dan diawasi secara berkelanjutan, sehingga pola pikir dan perilakunya benar-benar berubah sesuai dengan harapan.

Di sini, beban menuntaskan child traffiking bukan murni masalah pemerintah dan penegak hukum saja. Masyarakat sekitar, sekolah, lembaga agama, bahkan ilmuwan-ilmuwan Psikologi akan memiliki andil yang sangat besar. Dolly hanya satu di antara ribuan lain prostitusi legal maupun ilegal di Indonesia. PR kita sangat banyak.

Salam berbagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun