Mohon tunggu...
Yo Sugianto
Yo Sugianto Mohon Tunggu... profesional -

penggemar sepakbola, belajar menulis dan suka puisi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Soal Tanggungjawab dan Lahan Basah TKI

26 Februari 2014   10:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:27 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja ke luar negeri bisa dikatakan merupakan benang kusut yang seperti tak selesai diurai. Berbagai kebijakan, keputusan dan pembentukan lembaga belum juga mampu menghasilkan goal yang ideal yakni perlindungan maksimal terhadap para TKI.

Pengaturan penempatan TKI yang didasarkan pada kebijakan pemerintah Indonesia pada 1970, yang dilaksanakan oleh Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 4/1970 melalui Program Antarkerja Antardaerah (AKAD) dan Antarkerja Antarnegara (AKAN). Sejak itu pula penempatan TKI ke luar negeri melibatkan pihak swasta (perusahaan pengerah jasa TKI atau pelaksana penempatan TKI swasta).

Lahirnya Undang-undang No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri juga melahirkan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Kemudian disusul dengan lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) No 81/2006 tentang Pembentukan BNP2TKI yang struktur operasional kerjanya melibatkan unsur-unsur instansi pemerintah pusat terkait pelayanan TKI, antara lain Kemenlu, Kemenhub, Kemenakertrans, Kepolisian, Kemensos, Kemendiknas, Kemenkes, Imigrasi (Kemenhukam), Sesneg, dan lain-lain.

Dengan kehadiran BNP2TKI ini maka segala urusan kegiatan penempatan dan perlindungan TKI berada dalam otoritas BNP2TKI, yang dikoordinasi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi namun tanggung jawab tugasnya kepada presiden. Moh. Jumhur Hidayat dilantik sebagai Ketua BNP2TKI pada awal 2007, yang menjabat hingga kini.

Bukan perkara mudah bagi BNP2TKI ini untuk membenahi benang kusut yang ada. Selain masih kuatnya akar birokrasi, yang disertai pungutan liar (pungli), juga belum padunya kerjasama antar lembaga pemerintahan sendiri. Ditambah lagi dengan masih banyak, bahkan lebih banyak jumlah TKI Ilegal yang dikirim keluar negeri, meski berbagai tindakan penangkapan dan penggerebekan telah dilakukan. Efek jera belum tampak, karena selain belum dianggap sebagai kejahatan khusus seperti trafficking (perdagangan manusia), juga keuntungan menggiurkan yang tersaji di dalamnya.

Dalam suatu penggerebekan di Asem Baris, Tebet, Jakarta Selatan pada November 2013 misalnya menemukan adanya 40 TKI wanita yang akan diberangkatkan keluar negeri secara ilegal. Calo yang mengontrak rumah itu mengakui hal itu melanggar hukum, tapi keuntungang yang akan diperolehnya cukup menggiurkan, Rp 3 Juta per TKI yang diberangkatkan.

Lain lagi di NTB, seperti temuan yang disampaikan oleh Tifa Foundation pada awal Desember 2013 menunjukkan, dalam satu pengiriman TKI, diperkirakan keuntungan yang didapat antara Rp 5 juta sampai Rp 10 juta. Jumlah yang menggiurkan, dan membuat calo (perusahaan penyalur) tak pernah jera. Ditambah lagi dengan kemiskinan struktural di daerah asal TKI yang belum terpecahkan oleh pemerintah.

“Kasus pengiriman TKI ini harusnya tidak menjadi tindakan kejahatan umum, tetapi harus masuk pada tindakan kejahatan khusus. Sehingga Polri bisa leluasa menyelesaikan persoalan-persoalan hukumnya. Permainan TKI adalah kejahatan terbesar kedua setelah Narkoba, karena ini menjadi gudangnya uang,” tegas Executive Director Tifa, Irman G Lanti kepada media saat itu.

Pernyataan itu mestinya mendapat tanggapan sigap dari pemerintah, yang tentu sudah menyadari bahwa praktek pengiriman tenaga kerja secara ilegal keluar negeri bukan hanya merupakan praktek perdagangan manusia, tapi juga membawa nama baik bangsa. TKI yang tanpa kemampuan berbahasa, ketrampilan kerja dan tanpa dibekali pengetahuan budaya negara tujuan, jelas akan mencoreng nama negara karena ketidakmampuannya. Belum lagi terjadinya kasus kekerasan, pelecehan seksual hingga tidak dibayarnya gaji TKI oleh majikannya. Saat terjadi ledakan kasus, TKI itu yang paling menderita karena tidak dimilikinya perlindungan hukum akibat statusnya yang ilegal.

Pada sisi lain, kerjasama dengan sesama birokrat pun belum sepenuhnya terwujud. Semisal soal Kartu  Tenaga Kerja Luar Negeri(KTKLN ),khususnya para pekerja sektor informal. KTKLN yang tujuannya untuk mempermudah segala keperluan TKI,tetapi dalam pelaksanaannya kartu ini malah lebih sering menjadi momok bagi para pekerja yang ingin balik bekerja setelah pulang cuti. Sikap petugas yang masih sering dikeluhkan oleh TKI, yang terkesan mencari-cari alasan, juga belum adanya dukungan dari pemerintah daerah seperti di Jawa Timur atau Konsulat Jenderal di Hongkong.

Masih terkait KTKLN pula, kurangnya sosialisasi seperti banyak dikeluhkan TKI juga bisa menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi BNP2TKI. Meski pada aspek ini juga membutuhkan “bantuan” dari departemen lain seperti Depnaker, Pemda atau Menkoinfo.

Soal tanggungjawab ini tak bisa hanya ditudingkan pada satu lembaga saja, karena begitu ruwetnya permasalahan dan mata rantai birokrasi terhadap pengiriman TKI keluar negeri. Ditambah lagi dengan faktor kemiskinan di daerah asal TKI, belum diberlakukannya peraturan perdagangan manusia serta banyaknya oknum bermain di lahan yang basah ini, membuat persoalan TKI tetap menjadi hangat, bahkan memanas dari tahun ke tahun. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun