Candaku bersama teman-temanku sehabis makan di kantin sore itu, sepertinya dia mengetahuinya. Sepertinya dia mendengar dan menyadari bahwa itu suaraku. Aku pun melihat siluet dirinya walau tampak dari belakang. Namun, bodohnya aku -lebih tepatnya pengecut- tidak berani menatap matanya. Ku teruskan menuju toilet dan mengambil wudhu untuk sholat Maghrib. Setelah itu aku memastikan apakah dia masih berada di tempat itu, dan ternyata memang masih di sana.
Entah sebenarnya apa yang aku rasakan ini. Berkali-kali aku merasakan hal yang seperti ini namun walhasil hanya berakhir tanpa langkah awal. Masih penasaran dengannya, aku turun lantai dan memastikan apakah dia masih ada di sana. Ternyata masih ada di sana. Sial, lagi-lagi aku malu, dasar diriku pengecut.
Pagi tadi, aku bertemu dengannya lagi. Namun, aku tetap saja tak berani melihat matanya. Mataku tak sanggup untuk mengatakan pada matanya. Kali ini tak begitu mengecewakan, aku mendapatkan senyumnya, walau sebenarnya aku tak yakin senyum itu untukku. Semoga saja tidak. Dia sudah punya pacar, mana mungkin senyum itu untukku. Namun, bisa saja dia tidak benar-benar mencintai pacarnya. Ah, aku terlalu berandai-andai.
Padahal, sebelum itu ada momen memalukan yang bisa sebagai senjataku untuk mengatakan apa yang ku rasa padanya. Tapi, itu sudah berlalu. Kini, percuma ku meratapi nasib. Aku harus menerima kegagalanku sekali lagi. Andai aku bisa, aku akan menulis semuanya yang kurasa untuk kau ketahui. Tidak hanya menulis, namun aku ungkapkan di depanmu. Aku ingin mendengar jawabmu, namun itu sudah habis masanya.
Penyesalan tak 'kan pernah mengubah takdir yang sudah terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H