Ketika masa penjajahan rakyat indonesia melawan penjajah dengan bambu runcing, bambu runcing sebagai simbol perlawanan.
Terkait kasus sandal yang disidangkan di pengadilan negeri palu, masyarakat palu bahkan secara nasional mengespresikan kekesalannya terhadap aparat hukum/negara/pemerintah bukan dengan bambu runcing atau senjata melainkan sandal.
Yah.. Dengan sandal, walaupun sandal bukan merupakan salah satu jenis senjata, aksi sandal ini tentunya akan menjadi sindiran yang tajam buat penegak hukum dinegeri ini.
Dalam sidang yang dilakukan secara maraton, sekitar 12 jam dan terkesan diforsir, sidang diakhiri dengan pembacaan vonis hakim, dimana vonis yang dijatuhkan oleh hakim sangat ironis, disatu sisi AAL tidak mendapat hukuman kurungan karena pertimbangan masih dibawah umur demi perkembangan psikologis si anak, disisi lain hakim menyatakan AAL adalah pencuri sandal, padahal sandal yang dijadikan barang bukti bukan milik korban. Status sebagai pencuri akan lebih berat dan akan melemahkan karakter si anak karena ini sama saja hukuman seumur hidup yang tentunya lebih sakit dari hukuman kurungan secara mental, terlebih lagi status sebagai pencuri ini disahkam melalui pengadilan.
seharusnya sang hakim jangan setengah - setengah dalam mempertimbangkan fakta - fakta dalam persidangan, sandal yang menjadi barang bukti dipersidangan tidak sah dan tidak bertuan, tapi hakim memaksakan bahwa AAL adalah pencuri. Seharusnya hakim berani menyatakan bahwa sidang tidak dapat dilanjutkan karena pihak penuntut tidak dapat menunjukkan barang bukti atau terdakwa bebas murni demi keadilan, apa lagi terdapat unsur penganiayaan dalam peristiwa ini.
Telepas dari polemik diatas, jangan heran jika situasi indonesia saat ini akan terjadi perlawanan dimana - mana dalam hal apapun, penyebabnya adalah KUHP kita masih warisan Belanda, KUHP
bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H