Mohon tunggu...
John Simon Wijaya
John Simon Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

✉ johnsimonwijaya@gmail.com IG/LINE : @johnswijaya

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sorga Semua Agama

4 April 2014   19:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:05 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1396588556730572531

[caption id="attachment_301808" align="aligncenter" width="300" caption="Michael Angelo: Relation between Adam (Man) and God, sumber: pinterest dot com"][/caption]

Apa itu sorga?

Sorga adalah sebuah tempat yang didambakan manusia setelah kehidupannya di bumi sudah selesai.

Apakah Sorga itu nyata?

Sorga tentu saja tidaklah nyata, ini hanyalah asumsi, fantasi dan buah pemikiran manusia sebagai harapan akan tempat yang layak untuk meletakkan jiwanya setelah kematian. Murni sebuah gagasan semu dari sudut pandang manusia yang masih hidup dalam media duniawi.

Jika Sorga (yang kita inginkan bersama ini) ternyata sungguh sungguh tidak pernah ada, kita harus bagaimana?

Betapa kunonya tingkat pemahaman peradaban kita jika ternyata kita masih mendambakan berbagai hal keduniawian di alam setelah kematian. Betapa miskinnya ketulusan dan keikhlasan hati kita dalam mencitai sesama jika dasar pijakan yang digunakan hanyalah kebutuhan mengejar pahala atau mengharapkan upah surga di kemudian hari.

Sorga tidak perlu benar benar terlihat nyata jika kita sudah mampu berbuat kebajikan dengan keikhlasan dan ketulusan tanpa mengharap imbalan apapun. Karena pada dasarnya saat kita berbuat baik bagi orang lain, akan terjadi mekanisme alamiah bahwa kebahagiaan akan datang kembali berlipat ganda bagi orang yang rela membagikannya.

Saat manusia sudah melepaskan jiwanya, raganya akan tertinggal di dunia. Segala atribut keduniawian akan tertinggal di dunia. Jiwa orang yang sudah mati tidak akan merasakan sedih-duka-senang-bahagia lagi. Tidak akan lagi mendapatkan rasa sakit-nikmat, tidak memiliki lagi perasaan dibenci ataupun dicintai.

Definisi nikmat dan berkelimpahan hanya kita kenal saat kita hidup di dunia. Saat kita mati, kita sudah (harus) melepaskan segala hal duniawi tersebut, kita sudah tidak lagi memiliki kepentingan untuk merasakan khawatir dan sedih lagi. Kita tidak membutuhkan lagi perasaan sakit dan tersiksa lagi. Dan saat sudah tidak di dunia kita juga tidak memerlukan merasakan nikmat dan terpuaskan lagi. Karena segala hal tersebut hanyalah atribut kehidupan duniawi.

Karena semua hal itu hanyalah atribut duniawi yang saat kita mati (harusnya) sudah ikut dilepaskan. Atribut yang ikut ditanggalkan bersama raga yang sudah mati.

Kekal dan Abadi?

Pada dasarnya definisi kekal dan abadi hanya akan kita rasakan dan temukan saat hidup di media ruang dan waktu. Saat kita mati, jiwa kita tidak membutuhkan lagi kekekalan dan keabadian, karena definisi kekal dan abadi hanya dimengerti saat kita tinggal pada dimensi ruang dan waktu. Sebuah dimensi yang sudah ditangalkan bersama raga yang telah mati. Yang dibutuhkan jiwa agar tetap menyala hanyalah eksistensi, dan untuk mempertahankan spirit tersebut tidaklah dibutuhkan keabadian.

Jadi, bagaimana cara kita menemukan tujuan akhir setelah kematian?

Hiduplah dengan ikhlas, lepaskan semua beban yang membelenggu. Mari kita jalani dengan irama kehidupan positif. Kita tidak pernah bisa mengingkari eksistensi diri yang dianugerahkan Tuhan saat dilahirkan di dunia. Tugas yang diberikan Tuhan selama manusia hidup sudah jelas. Yaitu hidup dengan penuh keikhlasan, gunakan segala kesempatan yang terbatas untuk tujuan mulia.

Seseorang yang tidak dipenuhi keikhlasan selama hidup akan menghantui manusia lain saat dia sudah mati. Karena seakan masih memiliki beban atribut kehidupan yang tidak ikut serta ditanggalkan saat dia sudah mati.

Jika seandainya sorga (yang diharapkan manusia hidup ini) benar-benar ada,

Sorga adalah rumah terakhir seluruh jiwa yang ada di alam semesta. Tidak dikapling-kapling, tidak dikhususkan bagi orang beragama khusus A, tidak pula dikhususkan bagi orang yang layak berupah pahala. Bahkan seorang atheis yang sangat kering imannya tetap bisa memasukinya karena seluruh jiwa memiliki mekanisme kembali lagi ke rumah asal, tempat di mana kita berasal sebelum dilahirkan ke dunia.

Bersambung

______________________

John Simon Wijaya © 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun