Mohon tunggu...
John Simon Wijaya
John Simon Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

✉ johnsimonwijaya@gmail.com IG/LINE : @johnswijaya

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Masa Depan Transjakarta

2 Juli 2013   15:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:07 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_252476" align="aligncenter" width="574" caption="Masa Depan Jalur Busway"][/caption]

Kemacetan adalah suatu masalah yang kompleks. Selama masalah kemacetan ini belum teratasi tentu saja kita tidak akan pernah bosan untuk terus membicarakannya. Selama bertahun tahun pemerintah bersama warga telah sama sama belajar, dan saling bertukar pendapat untuk menarik benang merah masalah dan memecahkan bersama. Jika dipandang secara komprehensif, seperti yang sudah berulang ulang dijelaskan Pak Gurbernur, inti permasalahan kemacetan ibu kota dan kota besar lainnya adalah masalah aktifitas pergerakan penduduk. Macet disebabkan oleh tersendatnya volume pergerakan manusia dengan jumlah sangat besar untuk varian aktifitas yang berbeda beda . Pada akhirnya kita sadari atau tidak, baru pada era Jokowi-Ahok inilah kita baru agak “ngeh” dan terbentuk kesadaran bersama satu pikiran bahwa solusi utama untuk mengatasi kemacetan adalah melalui perbaikan dan efisiensi transportasi massal. “Pindahkan manusianya, bukan kendaraanya.”

MENGAPA BUSWAY? MENGAPA TRANSJAKARTA?

Beberapa bulan terakhir ini, persepsi kita seakan tenggelam pada kepopuleran transportasi massal modern. Tenggelam akan kepopuleran akan dibangunnya jaringan MRT, atau lebih cocok disebut Subway – Kereta Bawah Tanah yang mix dengan Kereta Layang  yang menghubungkan Lebak Bulus hingga Kampung Bandan. Serta Monorail yang bangunan struktur tiang tiangnya sudah menghiasi ibu kota sejak satu dekade yang lalu ini.

Subway dan Monorail memang keren, semua orang menantikannya. Ingin segera menaiki dan berfoto di dalamnya saat launching hari pertama. MRT dan Monorail memang harus ada, harus segera dibangun, kita harus dukung bersama hal ini. Karena Jakarta sudah tertinggal 20 tahun dibanding Singapore dan KL.

Tapi sebelum kita tenggelam dengan euforia MRT dan Monorail, marilah kita lihat sejenak pada daftar jaringan transportasi massal berikut, sebenarnya moda publik transport apakah yang paling vital keberadaannya di Kota Jakarta ini?

Berikut perbandingan jaringan moda transportasi publik  di Jakarta:

MRT :  1 koridor - 21 km – [ aktif 2017 ], - koridor berikutnya aktif Tahun 2027 jalur belum diketahui -

Monorail :  1 koridor - 20 km

KRL :  4 koridor - 235 km

Transjakarta : 12 koridor - 248 km

Ternyata dari daftar di atas tersebut, kita melihat Busway atau Transjakartalah yang (lagi-lagi) memiliki peran vital bagi transportasi Massal di Jakarta, paling tidak hingga beberapa dekade mendatang. Sedangkan KRL atau Commuter Line juga memiliki peranan vital untuk angkutan jarak menengah  pada jangkauan Jabodetabek.

Jadi jika ada anggapan bahwa setelah MRT terbangun, masalah kemacetan langsung selesai adalah salah. MRT harus dioptimalkan, Monorail harus dioptimalkan, dan yang lebih penting lagi penduduk harus lebih mencintai lagi Busway dan KRL yang hari ini sudah tersedia ini. Karena ternyata kedua moda tersebutlah Transportasi massal dengan jaringan paling panjang di penjuru Jakarta. Jadi, saat subway dan monorail ini sudah hadir nanti, ternyata kita harus tetap memperhatikan serta meningkatkan kualitas public transport khususnya KRL dan Transjakarta.

SEJARAH TRANSJAKARTA

Mari kita flashback sejenak, Transjakarta yang kita kenal hari merupakan adopsi langsung dari sistem Busway Transmilenio yang sudah sukses di Kota Bogota Colombia.

Transmilenio di Bogota sendiri secara kasat mata  mendapatkan perlakuan yang lebih istimewa dibanding saudara kandungnya Transjakarta yang sudah kita kenal bersama di sini. Seperti yang kita lihat pada foto di bawah ini, transmilenio ternyata memiliki 2 lajur pada tiap tiap arahnya, sehingga kebutuhan total yang digunakan Transmilenio ini menghabiskan 4 jalur sendiri dari jalan raya eksisting yang ada untuk mewadahi dua arah berlawanan dalam satu koridor yang sama.

[caption id="attachment_252477" align="aligncenter" width="300" caption="TransMilenio Bogota"]

13727524343403464
13727524343403464
[/caption]

Keberadaan 2 lajur per arah ini vital peranannya mengingat kondisi Bis tidak bisa dikatakan selamanya akan “fit dan sehat”. Jika salah satu unit bis tiba tiba mogok atau pecah ban, sistem 2 lajur seperti di Bogota ini berfungsi efektif agar perjalanan bis-bis lain di belakangnya tidak ikut terhambat.

180o dengan apa yang terjadi di Jakarta. Hanya ada 1 lajur untuk satu jalur saja. Ibarat main game, nyawa kita cuma satu, sekali celaka – slese sudah, game over.  Tidak jarang kita melihat antrian panjang puluhan bus transjakarta yang terjebak  sudah tidak bisa ke mana mana hanya karena salah satu bis di depannya mogok. Mogoknya  1 bus berdampak bagi 30 bus di belakanganya ! Evakuasi/derekpun tidak bisa dilakukan dengan segera karena kiri kanan ternyata sudah macet. Stuck, tidak bisa ke mana mana –  Luar biasa.  Jadi, sistem satu lajur ini ternyata belum ideal dan rentan dari berbagai kelemahan.

Masalah berikutnya adalah Jalur belum steril,  Transjakarta belum diistimewakan, belum menjadi “Raja Jalanan” yang sesungguhnya. Definisi utama dari busway sebagai angkutan massal istimewa yang memiliki jalur sendiri ternyata belum sepenuhnya dihargai dan diusahakan bersama kesakralan jalurnya. Karena macet sudah sedemikian parahnya, beberapa persepsi dari kita sendiri justru merasa tidak terlalu berdosa jika meminjam jalur busway sejenak. Praktis dari 12 koridor yang sudah aktif baru koridor satu saja yang senantiasa bersih dari gangguan kendaraan lain. Padahal mengutip dari kata Bang Yos, pada awal hadirnya Busway, harapan Bang Yos saat itu jalur busway haruslah steril, jangankan konvoi pejabat, ambulance pun tidak diperkenankan meminjam jalurnya.

CARA MESTERILKAN JALUR BUSWAY

FUNGSI vs ESTETIKA

Saat kita memperhatikan separator busway seperti koridor 3 Harmoni-Kalideres atau koridor 5 Ancol – Kampung Melayu  yang tinggi dengan besi ulir di atasnya tersebut apa yang terbayang di benak kita? Indahkah? Bagaimana standar safety separator ini? Dan yang paling mudah diamati adalah apakah separator tersebut baik secara estetika. Atau memang dipasang hanya sekedar asal fungsi?

Mari kita cermati bersama sama ilustrasi di bawah ini untuk mempelajari metode apa saja yang bisa kita wujudkan untuk menciptakan jalur busway yang steril, cepat, dan efisien.

[caption id="attachment_252478" align="aligncenter" width="492" caption="Future Busway U-Turn Scheme"]

1372752549986490483
1372752549986490483
[/caption]

Jadi untuk menciptakan jalur yang steril dan efisien. Selain fungsi, kita juga harus memperhatikan estetika, menciptakan suasana enak dipandang. Agar busway tidak mudah terganggu kendaraan lain adalah dengan menciptakan atmosfer jalur busway yang lebih privat dan eksklusif. Untuk jalur busway kita harus ciptakan suasana yang berbeda dari jalan umum di kiri kanannya. Jadikan busway ini “dunia yang berbeda” sehingga pemakai kendaraan pribadi enggan memasuki zona jalur buswaynya. Pohon atau separator vegetasi yang sebelum kehadiran busway hanya untuk pembatas tengah, saat hadirnya busway seharusnya diefektifkan lagi sebagai pemisah atmosfer busway dan non busway.

Sebagai gambaran dasarnya, kita bisa melihat contoh yang sudah ada seperti jalur KRL Pasar Minggu – Lenteng Agung – UI di mana atmosfer KRL dan non KRL begitu tegasnya dipisahakan. KRL di tengah, sementara kiri kanan jalan raya, tentu saja kita bisa menerapkan preseden yang sama ini untuk diterapkan pada busway.

Selain separator alami – taman dan vegetasi sebagai pembatas busway dan non busway . Jalur busway harus digabungkan dua arah berlawanan dalam jalur bersama tanpa separator (lihat ilustrasi). Penggabungan 2 jalur ini efektif sebagai kompensasi situasi lebar jalan Jakarta yang jauh berbeda dibanding Bogota. Di mana Bogota masih memungkinkan mendapatkan jalur busway yang lebar sedangkan Jakarta tidak. Hal ini penting sebagai upaya menyelesaikan permasalahan mendesak seperti evakuasi saat bus sedang mogok.

[caption id="attachment_252479" align="aligncenter" width="342" caption="Future Busway with Existing Bus Station"]

1372752672128738139
1372752672128738139
[/caption]

Busway Kastanya lebih tinggi dibanding Jalan Toll

Jika kita melalui jalan Sudirman dan MH Thamrin tentu saja kita melihat Jalur Busway Koridor 1 sudah sesuai kodratnya – berada di ruas paling tengah - menjadi “Raja Jalanan” sesungguhnya. Sebuah contoh sukses. Namun hal istimewa yang sama belum ditemukan saudara saudaranya di koridor lain. Sungguh berbeda saat Jalur Busway dipertemukan dengan Jalan Toll. Ternyata “pembedaan kasta” tetap diberikan, anehnya Toll yang sebagian besar  berisi mobil mobil pribadi ini justru mendapatkan prioritas lebih besar dibanding busway. Pada salah satu contohnya Koridor 9 Pluit – Pinang Ranti misalnya. Yang kita temukan setiap harinya di Jl. Gatot Subroto dan Jl. S. Parman ini tentu saja aneh. " Masak busway ikutan macet?"

[caption id="attachment_252480" align="aligncenter" width="491" caption="Jl. Gatot Subroto Scheme"]

1372752768487774496
1372752768487774496
[/caption]

Saat bertemu Toll, idealnya Busway berada di tengah tengah Toll, Busway seharusnya di dalam jalur Toll bukan di-pinggirannya, sehingga busway ini tidak tersendat hanya karena ulah kendaraan pribadi pada titik in-exit Toll. Saat busway menjadi integrasi langsung jalur toll tentu saja waktu tempuh busway jauh lebih cepat dari yang terjadi hari ini. SIMPLE !

[caption id="attachment_252481" align="aligncenter" width="614" caption="Busway meet Toll Scheme"]

1372752841285096035
1372752841285096035
[/caption]

Kemudian seperti contoh Koridor 10 Tanjung Priok – Cililitan. Saat dipertemukan kondisi dengan jalan toll berada di jalan layang, busway ini harusnya ikut di atas. Ikut toll di ruas paling tengah sehingga tidak disibukkan oleh keberadaan lampu merah dan in-exit mobil mobil pribadi.

Sesungguhnya dalam perencanaan awal sebelum busway hadir, apa yang menjadi pertimbangan busway harus di luar toll? Apakah busway ikut keluar masuk toll? Kan tidak. Sekali di dalam ya terus di dalam. Justru busway inilah yang harus di tengah- tengah toll. Kastanya lebih tinggi dibanding mobil pengguna toll. Dengan jalur busway berada di tengah ruas toll, busway baru boleh layak menyandang predikat “ RAPID “ di dalamnya. Bus Rapid Transit. Yang kita alami hari ini kan definisi kata "RAPID" dari Transjakarta belum bisa kita rasakan.

Faktor apakah yang sesungguhnya menyebabkan Busway masih di bawah prioritas mobil pribadi pemakai Toll? Sangat tidak masuk akal. Katakanlah lajur toll berkurang 25% kapasitasnya, hal ini tidak akan berdampak langsung pada penurunan pendapatan Jasa Marga di Toll. Mobil pribadi akan selalu berbondong bondong dan berlomba lomba menggunakan toll.

Adalah satu unit bus berkapasitas 120 orang di jam sibuk haruslah diutamakan dibanding mobil dengan kapasitas 3-4 orang, bahkan di lajur non three in one dengan mudahnya kita temukan mobil dengan kapasitas hanya 1-2 orang saja. Saat busway sudah di dalam Toll, dan sukses bertransformasi menjadi BRT yang sesungguhnya, sekmen 1-2 orang pemakai mobil ini akan lebih tertarik pindah menjadi penumpang busway yang lebih cepat. Efisien karena kapasitas satu unit busnya setara 60 mobil.

Saat akan hadir ide “sembrono” motor boleh masuk Toll, alangkah lebih etis jika kita lebih mempertimbangkan prioritas busway. Buswaylah yang harusnya di dalam ruas toll. Kasta Busway tentu saja harus ditinggikan dibanding kendaraan pribadi dalam kondisi apapun.

Saat bertemu jalan layang non tollpun, posisi busway seharusnya di atas, bukan di bawah. Sehingga dia benar benar menjadi yang utama. Mari kita cermati bersama keberadaan Jalan layang Pesing di Jl. Daan Mogot yang dibangun di era Foke ini. Kita tentu sama sama mempertanyakan sebenarnya apa maksud dan tujuan didirikan Jalan Layang ini? Mengapa ada jalan layang yang hanya satu ruas untuk satu jalurnya? Sangat mengerikan dampaknya saat ada satu mobil saja yang mogok di tengah. Sudah sering terjadi, satu mobil mogok berdampak terjebaknya ratusan mobil di belakangnya, mengerikan ! Jalur ini dan beberapa jenis yang lain sebaiknya dikhususkan untuk busway saja. Diperuntukkan untuk kemaslahatan yang lebih besar.

BERSAMBUNG

Tulisan selanjutnya:

Masa Depan Transjakarta #2 : Standar Pelayanan Minimal

Masa Depan Transjakarta #3 : Evolusi Transjakarta

_____________________________________________________

John Simon Wijaya © 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun