Mohon tunggu...
John Simon Wijaya
John Simon Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

✉ johnsimonwijaya@gmail.com IG/LINE : @johnswijaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jakarta Tidak Butuh Monorail

26 Mei 2014   18:52 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:05 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_308543" align="aligncenter" width="576" caption="Nangkring Kompasiana 24/05, "][/caption]

Akhir pekan kemarin (24/05), kebetulan saya berkesempatan ikut menghadiri Kompasiana Nangkring di  Kuningan City membicarakan masalah transportasi massal di Jakarta. Yang secara khusus diawali dengan membicarakan permasalahan tentang Monorail dan alasan apa saja yang menghalanginya hingga proyeknya mangkrak selama lebih dari 10 tahun.

Diawali dengan penjelasan teknis dari Dirut JET Monorail John Aryananda, Dilanjutkan dengan keluhan jalur Monorail serta kronologi singkat pembahasan kontrak kerjasama antara pemerintah dan konsorsium Jakarta Monorail oleh pak Dharmaningtyas. Acara ini dihadiri juga oleh Lukas Hutagalung dari bapenas, serta Pak Tjipta Lesmana agar suasana lebih hidup.

Langsung saja agar tulisan ini lebih singkat. Tadinya bayangan saya acara ini lebih memperdalam masalah teknis konstruksi dan sistem jalur-jalur keretanya. Tapi setelah pembicaraan diperdalam selama 1,5 jam berikutnya barulah terungkap semua bahwa ternyata permasalah utama tertundanya proyek Monorail selama ini bukanlah perkara Pemerintah begitu miskinnya hingga tidak punya anggaran. Bukan pula masalah desainnya belum fix dan harus memerlukan revisi yang kompleks. Tapi murni karena masalah birokrasi yang begitu berbelit-belit , bertele-tele dan rumit. Keputusan berubah-ubah, penuh keraguan, selama itu pula biaya konstruksi dari tahun ke tahunnya terus-terusan melesat sehingga jika dihitung dari segi realitisme investasi tidak akan pernah masuk di hitungan pihak swasta siapapun itu.

Karena apa sih?

Karena elu orang mutusin masalah beginian kelamaan, keburu tambah mahal dan naik terus harga beton, baja, sama unit keretanya itu sendiri. Sedangkan elu sendirinya malah kalah, dan udah ganti sama gurbernur yang baru sekarang.”

Bikin susah semua orang.

Begitu menyebalkannya, hanya sekedar membuat Monorail di satu kota saja ternyata 10 tahun berjalan belum ada sama sekali hasilnya. Bahkan jika kita sederhanakan lagi bahasanya, bisa dibilang proyek ini sama sekali belum jelas siapa yang akan membangun.

Satu-satunya yang sudah jelas hari ini hanyalah pilar-pilar yang sudah terlanjur berdiri oleh kontraktor sebelumnya.

TIDAK HARUS MONORAIL

Jika proyek ini sekiranya mau dilanjutkan di kemudian hari. Secara pribadi, sebagai calon pengguna saya sarankan jalur ini tidak perlu DIPAKSAKAN tetap memakai sistem monorail. Yang dibutuhkan penduduk bukan perkara unit Monorailnya, tapi transportasi publik -nya yang harus senantiasa tersedia melengkapi dan terintegrasi langsung dengan sistem lain yang sudah ada di daerah inner-city.

Sehingga saat macet sudah semakin tidak manusiawi lagi, kita tetap memiliki opsi memakai angkutan non private transport.

Kelebihan monorail cuma satu, lebih praktis proses konstruksinya karena sistem penyangga betonnya ramping. Selebihnya lebih banyak kekurangannya. Efisiensinya juga masih harus kita pertimbangkan kembali. Salah satu contohnya rangkaian monorail tidak bisa sepanjang KRL/MRT yang mencapai 10 rangkaian. Dengan keterbatasan rangkaian tidak bisa panjang, berarti kapasitas penumpangpun tidak akan bisa sebanyak MRT/KRL.

Satu lagi yang tidak kalah penting, kecepatan tempuh Monorail tidak lebih dari 45km/jam, bandingkan dengan KRL yang mampu melesat 80-150km/jam seketika. Jika anda sedang buru-buru mau rapat di jam makan siang, kebetulan tempat pertemuannya dilalui jalur monorail, apakah anda mau memakai moda transport yang kecepatannya setara kereta wisata uap di Ambarawa? Belum lagi transitnya, belum lagi pertimbangan waktu tunggu interval antar keretanya.

TIDAK URGEN

Pertimbangan selanjutnya adalah : Apakah begitu urgennya harus Monorail? Tidak juga.

Ide Monorail pertama kali diungkapkan saat era pemerintahan Bang Yos, yang saat itu saya baru lulus SD. Dugaan saya public transport inner city saat itu dipertimbangkan akan menggunakan Monorail semata-mata dengan harapan mengejar waktu konstruksi yang jauh lebih singkat dibanding jika harus berbentuk Sky Train / KRL layang / lainnya.  Faktanya karena sistem birokrasi yang bobrok, proyek monorail malah tertunda dan mangkrak belasan tahun, bukan diakibatkan karena proses konstruksinya yang lama, tapi ternyata justru diakibatkan karena tetek bengek mengurus kontrak kerjasama di meja kantornya yang harus melalui puluhan kali meeting tanpa solusi.

SALAHNYA DI MANA? SOLUSINYA APA?

Sebagai konklusi terakhir, bisa kita simpulkan bersama bahwa acara nangkring Bersama hari sabtu kemarin adalah acara yang berisi curhatan dari John Ayananda tentang susahnya meyakinkan pemprov untuk membangun Monorail, yang sesungguhnya konsep Monorailnya sendiri lahir dari Pemprov sendiri sejak belasan tahun yang lalu. Namun ternyata detail konsep blueprintnya masih setengah matang dan prematur (kapan-kapan diinginkan untuk bisa diedit-direvisi lagi). Konsep bentuk pengembalian nilai investasinyapun juga belum jelas seperti apa karena jika hanya mengandalkan tiket penumpang tentu sangat tidak masuk akal.

Di tengah sejarah perjalanan yang panjang itu, hari ini kita malah dipertemukan dengan era baru Jokowi-Ahok dengan sosok Ahoknya yang mengkritisi semua bentuk dan wujud kerjasama dengan pihak swasta. Kita semua juga tidak bisa menyalahkan Ahok dong, dari sudut pandang swasta harusnya juga sudah menghitung, kalau proyek ini besoknya hanya membebani pemerintah hanya untuk nombokin/subsidi kekurangan harga tiketnya ya buat apa proyek ini dilajutin?

Jadi permasalahan utamanya di sini sebenarnya ada di sistem birokrasinya.

Belasan tahun GAGAL memutuskan sistem pembangunan Monorail. Hanya karena kelamaan muter-muter di masalah dokumen dari meja departemen A ke departemen B. Kelamaan di rapat dan menggodoknya.

Solusi terbaiknya adalah benahi dulu sistem birokrasi, mari kita buat sistem birokrasi yang ramping yang sedikit departemennya, sedikit mejanya, sedikit kepalanya sehingga segala permasalahan bisa diselesaikan lebih cepat dan efektif.  Jadi kalau hanya sekedar proyek monorail satu kota saja ya seharusnya bisa langsung diketok palu maksimal sebulan.

----

-Preseden Buruk-

Ini baru membicarakan satu proyek.

Kalau hanya untuk –proyek pemanasan- membuat monorail di Jakarta ini doang ternyata selama belasan tahun tidak berjalan juga. Lalu bagaimana ceritanya nanti dengan pembangunan Subway, Monorail, Tram di kota-kota besar lain seperti Kuta-Denpasar, Surabaya, Medan, Batam, Palembang, Pontianak, Balikpapan, Makasar, Manado, Ambon, Jayapura? butuh waktu berapa lama lagi hanya untuk sekedar mengupgrade kota-kota ini? Menunggu setelah 100 tahun Indonesia Merdeka atau gimana?

______________________

John Simon Wijaya © 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun