Agenda Presiden AS Barack Obama yang akan bertemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping di Beijing bulan november nanti, tentu saja akan dimanfaatkan oleh Obama sendiri untuk diplomasi peningkatan hubungan dengan Tiongkok, kemungkinan dari pertemuan ini tentu jelas akan mengarah pada jalur yang disenangi oleh presiden Tiongkok, meskipun terlihat jelas sekali kalau AS mengisyaratkan keengganannya untuk mengakui pada dunia yang memandang Tiongkok sedang meningkatkan pengaruhnya untuk memperlemah pengaruh AS dan sekutu-sekutunya di Asia.
Dalam beberapa waktu terkahir di kawasan Asia Pasifik, dengan tujuan untuk mendapat predikat "kekuatan besar", Tiongkok banyak sekali menggunakan daya tarik perdagangan dan investasi seiring dengan meningkatnya "daya tembak" militer Tiongkok sendiri, yang jauh lebih konfrontasional untuk membuat "serangan", setelah berpuluh tahun lamanya Tiongkok "diam" dan menerima keunggulan AS di Pasifik.
Seperti yang dikutip dari perkataan profesor studi strategis di Australian National University di Canberra, Hugh White, di The Guardian, 19 September 2014, yang mengatakan bahwa,
" Amerika sebenarnya menyadari bahwa tidak akan ada artinya bagi mereka menggunakan bahasa diplomasi yang sama saat ini, karena Tiongkok juga ingin menggunakannya guna menunjukkan bahwa Amerika sebenarnya siap untuk melihat adanya perubahan signifikan dalam sifat peran mereka masing-masing di Asia,"
Ini memang menjadi dilema besar bagi AS sendiri, dimana mereka bisa melukiskan hubunganya dengan Tiongkok, tentang bagaimana AS bisa "menerima" peningkatan ekonomi dan militer, Dilema AS, tentang bagaimana langkah selanjutnya apa harus menyerahkan keunggulan kepada Tiongkok, atau adanya kemungkinan berbagi kekuatan di asia Pasifik.
Beberapa waktu ini, Tiongkok memang sedang mengusahakan hubungan diplomasi yang lebih hangat dengan Rusia dan Korea selatan. Dua negara yang sama-sama punya record "perseteruan" dengan AS dan sekutunya Jepang. Presiden Tiongkok Xi jinping juga agresif dalam membentuk hubungan diplomasi dengan negara-negara Asia-asia lainya seperti dengan India kamis lalu, dimana Xi berjanji akan menginvestasikan 20 milliar USD untuk membantu India dalam menyeimbangkan defisit perdaganganya dengan Tiongkok, dan untuk membantu penyelesaian konflik di perbatasan.
Adanya kemungkinan meningkatnya konflik AS dan Tiongkok di Asia Pasifik, tentu saja akan membawa daya dorong terciptanya "koalisi" antar dua kubu tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Rory Medcalf, direktur Program Keamanan Internasional di Lowy Institute for International Policy di Sydney, di BBC, yang mengatakan bahwa,
“ Kekuatan yang ada di tengah Asia , yang termasuk didalamnya India, Jepang, Korea Selatan, Australia, Indonesia dan Vietnam , sedang mencari cara untuk bekerjasama. Jadi setelah puluhan tahun stabilitas berada di bawah dominasi AS tanpa tantangan, orde strategis Asia sedang mengalami perubahan dan samar-samar. Kami semua mengakui adanya problema, namun reaksinya sangat beragam,”
Sebenarnya "kegerahan" Tiongkok terhadap dominasi AS sebagai negara adidaya sudah terlihat sejak jauh-jauh hari, dimana di setiap bidang ekonomi maupun militer, Tiongkok selalu memberi warna baru untuk penyeimbang power negara-negara barat tersebut.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Tiongkok di bulan juli 2014 kemarin, dimana Tingkok bersama empat negara berkembang dunia, yaitu Rusia, India, Afrika Selatan, dan Brazil membentuk sistem finansial global yang baru. Lima negara berkembang dengan ourput terbesar dunia dan pertumbuhan ekonomi yang baik itu biasa disebut BRICS (Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan), mereka mendirikan lembaga keuangan baru yang menyerupai Bank Dunia dan IMF, yaitu New Development Bank.
Seperti yang dikutip dari Fox Business, Selasa 15 Juli 2014, dimana saat pertemuan yang digelar di Brasil, lima negara tersebut (BRICS) akan mendirikan IMF versinya sendiri (KW 1), dengan dana 100 milliar USD, lembaga yang selanjutnya akan disebut Contingent Reserve Arrangement akan membantu mengatasi krisis finansial yang tengah terjadi.
BRICS juga akan mendirikan lembaga keuangan baru serupa Bank Dunia yaitu New Development Bank, yang selanjutnya bank baru tersebut akan menyediakan pinjaman bagi sejumlah proyek infrastruktur di negara-negara berkembang. Yang tentu saja kedepanya akan menjadi alternatif untuk mengubah sistem finansial yang sekarang ini sedang berjalan.
Pendirian lembaga keuangan baru oleh BRICS ini bisa dibaca sebagai upaya negara-negara berkembang tersebut mematahkan dominasi negara-negara barat dalam perekonomian dunia. Dengan lembaga keuangan baru ini, mereka tentu ingin memiliki suara yang lebih keras dalam penentuan kebijakan ekonomi global. Setelah perekonomiannya tumbuh pesat dalam 10 tahun terakhir, lima negara tersebut menyumbang hampir seperlima atau 20% dari kegiatan ekonomi dunia (output).
Lucunya, masing-masing dari anggota BRICS tersebut adalah "alumnus" kreditur IMF, mereka telah merasakan pengalaman yang menyakitkan dengan dominasi keuangan Barat. Kelimanya merasa tersiksa dengan sanksi ekonomi yang diberlakukan oleh negara-negara Barat, seperti adanya persyaratan pemotongan anggaran demi memenuhi ketentuan IMF dalam memberikan pinjaman. Rusia contoh mudahnya, negara ini dibebani hutang milliaran USD sejak runtuhnya sovyiet, dan baru bisa melunasinya pada awal tahun 2001. Nah sejak itu, Rusia enggan untuk meminjam lagi atau meminta bantuan dari IMF atau lembaga keuangan Barat lainnya, karena Rusia menilai lembaga-lembaga keuangan itu sebagai predator.
Dari semua hal tersebut terlihat jelas, bagaimana Tiongkok secara aktif berusaha mengurangi hagemoni AS dan sekutunya, seperti mendukung pendirian Development Bank BRICS , dan contoh-contoh lainya.
Penulis menilai, kemajuan power dari Tiongkok ini akan mendapat perhatian besar bagi AS dan negara-negara barat lainya. AS tidak akan "berani" bersikap frontal terhadap Tiongkok, karena kepentingan AS sendiri dengan Tiongkok sangatlah besar, begitu juga dengan negara-negara di Eropa. Karena sudah sudah tidak menjadi rahasia umum lagi bahwa semua negara-negara maju dunia ingin "terhubung" dengan midlle class-nya Tiongkok, dengan 1 milliar mulut yang butuh untuk konsumsi di tiap harinya tentu saja itu menjadi daya tarik investor terhadap Tiongkok sendiri, belum lagi konsumsi luxury brand dan luxury good-nya.
Lihat aja contoh mudahnya tentang 'power' dari tiongkok sendiri, kemarin Alibaba, perusahaan IT dari Tiongkok melakukan listing di NSYE (BEJ-nya Amerika), ternyata kapitalisasi pasarnya besar dan mengalahkan site sejenis seperti E-bay dan Amazon, dan hari inisahamnya sudah naik 28% dari harga IPO (initial public offering) kemarin, atau dengan harga 68 USD/ lembar saham.
Diakhir kata penulis hanya ingin mengutip petuah jaman dahulu, dimana banyak orang tua kita yang memberi nasihat untuk "belajar sampai negeri China", hal inilah yang mungkin dimaksud dalam petuah tersebut, Tiongkok mempunyai "sikap". Sedangkan di Indonesia ?, para petingginya saja opini-nya sudah seperti muter kaset yang diulang-ulang dan tidak ada hal yang baru, jadi ya tidak kaget kalau Indonesai sekarang hanya menjadi "macan ompong" bukan macan asia seperti dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H