Mohon tunggu...
John Rubby P
John Rubby P Mohon Tunggu... Penulis - Planter yang selalu belajar

PLANTER............

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengurus e-KTP Mudah, tapi Hanya di Mulut Menteri

2 September 2016   15:35 Diperbarui: 2 September 2016   22:32 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Gonjang-ganjing KTP elektronik sangat mengganggu dan bahkan meresahkan banyak kalangan, bagaimana tidak, adanya ancaman akan sulit mendapat pelayanan publik jika tak nemiliki e-KTP. Sesungguhnya pemberlakuan KTP berbasis elektronik sangat menbantu pemerintah dalam berbagai aspek.

Lambannya penfurusan e-KTP adalah karena rumitnya birokrasi di NKRI, pada umumnya birokrat di pemerintahan itu kerjanya banyak santai dan terkesan sangat mempersulit segala urusan, yang ujung-ujungnya akan menerima pungli.

Pengalaman saya buat e-KTP sangat rumit, berhubung saya dan istri masih tercatat di daerah asal, jadi pas ada cuti tahun 2014, maka saya inisiatif mengurus e-KTP. Mulai dari surat pengantar dari desa, kecamatan saya urus. Di desa gratis, di kecamatan bayar Rp20.000,- walaupun gembar-gembor di mulut menteri gratis, akan tetapi bayar pula. 

Setelah urusan selesai di kecamatan, saya dan istri diharuskan mengurusnya ke kabupaten, maka kami lanjutkan keesokan harinya. Tiba di dukcapil kabupaten, tidak bisa merekam e-KTP, alangkah kecewanya. Berhubung KTP sudah habis masanya, jadilah di usulkan buat KTP biasa. Setelah berkas di serahkan, diberikan tanda terima dengan saran 3 minggu lagi baru bisa diambil. Setelah berdebat sedikit, dan adik saya membisikkan sesuatu ke pegawai maka pegawai mengiyakan akan selesai sore hari sekitar pukul 14.00.

Pukul 14.00 kami ke dukcapil, dan memang ternyata sudah selesai dan ada di kantong salah satu pegawai yang kenal dengan adik saya. Setelah kami bertemu, dia meminta imbalan karena katanya sudah berusaha meminta tanda tangan kadisnya. Akhirnya dengan terpaksa kami memberi Rp200.000,-, mengingat 3 hari lagi akan kembali ke tempat kerja karena masa cuti sudah habis, demi memiliki KTP membayarpun kami lakukan walupun terpaksa. Dan sekali lagi, mengurus KTP itu gratis hanya di mulut menteri saja.

Sebagai penduduk yang baik, akhirnya kami meminta surat pindah dari kampung dan diurus oleh orang tua. Dan sekali lagi itu tidak gratis, dalam pengurusannya pun butuh waktu 2 hari dan juga tidak gratis. Menurut orang tua kami, pada hari pertama pengurusan, tetap dipimpong, yang akhirnya disebutkan bahwa yang mengerti komputer pengursan kependudukan hanya satu dan sedang sakit. Dengan kesal orang tua saya marah-marah dan ada satu pegawai yang kenal orang tua saya, dia menyarankan untuk datang besok harinya, dan itulah yang tejadi.

Setelah jadi, saya mengursnya di kabupaten lain, juga rumit, yang walaupun kata menteri gratis, tetap bayar Rp30.000,- masing-masing Rp15.000,- untuk KK dan Rp15.000,- untuk KTP.

Alurnya adalah RT ke desa, dari desa kkecamatan, dan dari kecamatan baru rekam e-KTP di kabupaten. Pengurusan pengantar dari RT, desa, dan kecamatan butuh waktu 2 hari. Setelah semua dapat, maka mengurus lagi ke kabupaten. Dan yang kita urus baru pindah datang, belum bisa langsung mengurus e-KTP. Hari ketiga ke kabupaten, dan besoknya disuruh datang untuk cek, hari ke 4 cek data betul atau tidak, setelah itu siap di cetak KK, disuruh besoknya lagi datang, hari ke 5 cek KK sudah betul, besoknya disuruh ambil karena belum tanda tangan kadis. Hari ke-6 ambil KK. Setelah ada KK, kembali lagi ke RT, desa,dan kecamatan untuk mengambil pengantar pengurusan e-KTP, selesai satu hari keesokan harinya. Hari ke-8 buat data untuk rekam e-KTP, hari ke-9 mau rekam, server mati, hari ke-10 jaringan tidak nyambung, tunggu servis sekitar 1 minggu.

Satu minggu kemudian kami datang untuk rekam, dan selesai rekam diminta satu minggu lagi baru diambil.

Jadi sesungguhnya menguru s e-KTP itu sangat mudah dan gampang, tapi itu semua hanya di mulut menteri...

 

Salam...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun